Sekapur
Sirih
Dunia
pertelevisian kian hari kian meningkat apresiasi kemasan, tehnologi, serta
pasar publiknya. Media audio-visual
adalah media komunikasi masa depan, dan televisi bukan lagi satu-satunya
alternatif publik bila ingin menikmati citra bergambar. Kini muncul Cyber Media
dengan tehnologi digital, yang memiliki daya siar hingga kepelosok muka bumi.
Kekuatan
televisi publik pada umumnya ada pada program-program dokumenter, magazine dan
feature. Sebagai contoh sekaligus bukti, hal ini dapat dilihat pada sejumlah
besar program televisi publik asing seperti BBC, NHK, NOS, dan lainnya, dimana
banyak sekali diproduksi karya-karya dokumenter.
Falsafah
Televisi Publik adalah ; “dengan modal
yang layak mampu memberikan keuntungan sosial bagi masyarakat” dan ini
sangat berbeda dengan motivasi televisi swasta yaitu; “dengan modal sedikit mampu mendapatkan keuntungan komersil berlipat
ganda”. Sehingga bukan suatu yang berlebihan apabila TVRI perlu kembali
memperkuat posisinya sebagai televisi layanan masyarakat.
Produksi
dokumenter sebenarnya tak hanya bertujuan menyajikan informasi dan hiburan
semata, tetapi memberikan pembelajaran budaya melalui rekam jejak sejarahnya,
yang kemudian dapat disimpan sebagai pustaka visual yang sangat bernilai. Sudah
menjadi suatu pengakuan bahwa, dokumenter mampu mengadakan komunikasi universal
yang dapat diterima dan dipahami setiap manusia sosial diseluruh penjuru dunia.
Evaluasi
Kualitatif, sebuah Lintas Pengamatan
Selama tahun
2010, sejumlah pelatihan/pembinaan dilakukan diberbagai stasiun televisi
daerah, khususnya pembinaan/pelatihan kreatif untuk lebih mengoptimalkan kemasan
produksi dokumenter sebagai bagian dari program non-fiksi.[1]
Beberapa hal menjadi perhatian selama dilaksanakannya pelatihan tersebut adalah,
masih perlunya peningkatan pemahaman atas konsep dokumenter yang terbagi dalam
tiga tahap yaitu Pra Produksi, Produksi dan Paska Produksi. Disamping itu yang
tak kalah pentingnya adalah, perhatian pada motivasi kreatif yang perlu
digalakan dalam pengembangan ide/gagasan, konsep, dan konteksnya, tentunya
permasalahan ini perlu ditunjang oleh aspek estetika yang terkait dengan tehnik
Sinematografi dan Editing.
Dokumenter dari Ide hingga Produksi
Dokumenter
saat ini sudah melampaui perkembangan yang sangat pesat baik dalam bidang film
dokumenter maupun televisi dokumenter. Khususnya dokumenter televisi justru
mengalami perkembangan kemasan kreatif yang lebih pesat dibanding film
dokumenter.
Dari tinjauan selama
pelatihan di beberapa tempat, kemasan dokumenter yang ada masih terlihat tetap
awet berpijak pada ide dan kemasan konvensional. Perlu ditekankan disini bahwa
hal ini tak saja terdapat di TVRI tetapi mencakup semua program dokumenter di
televisi Indonesia.
Perkembangan ini
terasa sangat lambat karena mungkin adanya permasalahan pemahaman konsep kerja
di pertelevisian. Dimana hingga kini dokumenter masih dimasukan kedalam
departemen berita, padahal untuk kreator dokumenter itu harus berdiri sendiri.
Untuk menggarap dokumenter meski ada unsur jurnalistiknya akan tetapi 90% ide
kemasannya berbeda. Konsep, kemasan dan prosedur kerja reportase tak bisa
langsung diadaptasikan ke konsep kreatif dokumenter, meski keduanya memiliki
keterikatan sejarah dalam perkembangan media massa.
Penyutradaraan
Suatu penuturan
dokumenter akan bisa terasa kedalaman human interestnya serta dramatikanya,
apabila pada tahap Pra-Produksi, dilakukan riset yang ideal, sehingga
mendapatkan data/informasi yang akurat
serta memiliki kedekatan dengan subjeknya. Riset adalah jantung dari
dokumenter. Maka berbicara mengenai konsep garapan penyutradaraan, hal ini baru
dapat dibahas apabila telah memiliki data riset yang memadai. Selama ini bahwa riset
tidak mendapat perhatian sepenuhnya. mungkin saja hal ini akibat dari sangat
singkatnya shooting day yang
diberikan kepada kru dokumenter untuk melaksanakan produksinya. Sehingga bukan
suatu yang aneh apabila riset/hunting yang dilakukan kurang memadai.
Sinematografi
Berbicara mengenai tata
kamera atau sinematografi, berarti berbicara mengenai komposisi gambar atau framing, gerak kamera (camera movement), dan pencahayaan (lighting). Tehnik menata sudut/posisi kamera
baik untuk dokumenter (single camera)
maupun untuk program di studio (multi
camera), masih dirasakan kurangnya progres terhadap estetika, dalam hal ini
penempatan sudut perekaman gambar (angle
camera) yang bermakna pada komposisi gambar atau framing.
Dibeberapa
daerah, beberapa kameraman yang umumnya generasi muda, telah memperlihatkan
kerja karya yang mengagumkan. Seperti yang penulis lihat di TVRI Palu, dimana ada
kamerawati muda memiliki potensi dalam hal sentuhan estetika gambar. Karena ini
masih bersifat intuitif maka perlu diberikan pemahaman teoritis agar talenta
yang ada dapat lebih disempurnakan untuk memahami makna dari setiap gambar/shot
serta dampak psikologis apa yang didapat dari sebuah shot atau gambar.
Editing
Dari sisi tehnik
editing, sentuhan pada ritme khususnya dokumenter terasa masih perlu
ditingkatkan lagi, dengan mendapatkan pemahaman teori mengenai editing. Ritme
penting pada setiap perpindahan atau pergantian gambar/shot/scene agar dapat lebih menarik dan memukau penonton. Tehnik
editing untuk dokumenter pada hakikatnya lebih sulit dibanding editing untuk
film fiksi. Karena dari materi shot yang kadang tidak terkonstruksi, editor
harus menyusun kembali serta menata setiap shot/scene agar keseluruhan struktur
dan alur penuturan menjadi menarik.
Selain itu
editor perlu memahami perangkat keras dan lunak sebagai pemahaman tehnologi
baru, karena editing juga terkait dengan efek-efek digital yang saat ini sudah
sangat memukau perkembangan kemasannya.
Kesimpulan
Sebagai pemateri
pada program pelatihan/pembinaan, umumnya pelaksanaan pembinaan atau pelatihan
dilakukan hanya di dalam ruang/kelas saja, ketika di TVRI Palu penulis baru
pertamakali mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam praktek shooting di lapangan/out door, sehingga evaluasi ini tak bisa
sepenuhnya dijadikan acuan yang ideal untuk suatu evaluasi dan penilaian yang
merata. Mengapa demikian ?, karena turun kelapangan dan berperan serta didalam
produksi praktek lapangan sangat ideal untuk memberikan kesempatan pada
pemateri dokumenter mengamati serta memberi masukan pada peserta pembinaan agar
dapat menilai secara langsung kinerja yang ada.
Tiga aspek utama
dari unsur kreatif dalam sebuah produksi dokumenter seperti Penyutradaraan,
Sinematografi dan Editing masih perlu dikembangkan lagi didalam setiap program
pembinaan/pelatihan, khususnya bagi para kreator muda yang berkarya di TVRI.
Untuk program
berikutnya usul penul;is adalah, akan sangat signifikan apabila disetiap
pelatihan, pemateri juga turun kelapangan untuk dapat memberi masukan langsung
pada peserta. Apabila pembinaan hanya dilakukan di ruang kelas saja, maka
menurut penulis hasil perkembangan yang lebih positif dalam setiap karya
produksi tak akan mencapai hasil maksimal.
25 September 2012
Gerzon. R.Ayawaila
Pemateri Dokumenter
[1] Istilah ini menurut
penulis lebih tepat daripada menggunakan istilah Non Drama, karena garapan
dokumenter juga memiliki aspek dramatik, meski tidak terlalu terpaku pada
dramaturgi, karena dokumenter lebih
mengutamakan konteks atau isinya daripada kepentingan ploting.