Mengakui keprihatinan bersama mengenai eksistensi kegiatan tradisi lokal di sejumlahbesar daerah di wilayah Nusantara, tentu perlu menjadi kesadaran bersama, bila memang kita menyadarinya. Indonesia sebagai negara kesatuan yang terdiri dari kumpulan wilayah/daerah, telah menjadikan negara ini kaya akan kearifan lokalnya, misalnya seni pertunjukan tradisional, seni ritual hingga seni tradisi lisan. Akan tetapi kekayaan budaya ini semakin hari semakin menipis, dan bukan sebuah mimpi bila pada akhirnya sebagian besar akan punah, dan sebagian sisanya yang masih bertahan akan mengalami perubahan bentuk keasliannya (orisinalitas).
Sejumlah kegiatan seni tari memang sering dipentaskan
dalam beberapa ajang pertunjukan, baik komersil maupun ajang kompetisi dan
eksibisi pada beberapa festival nasional dan internasional. Pertanyaannya,
apakah ini sudah cukup ideal untuk tujuan pelestarian maupun revitalisasi
kearifan budaya lokal ?.
Untuk memelihara keaslian warisan leluhur kita ini,
mungkin ada alternatif lain yang bisa membantu dalam bentuk lain, misalnya
bantuan teknologi modern, dalam bentuk media lain atau media baru. Tentu
teknologi modern ini memiliki keterbatasan, yaitu hanya dalam kapasitas sebagai
alternatif pendokumentasian untuk tujuan pembelajaran dan perpustakaan visual.
Media audiovisual (film/video) adalah media seni
termuda yang tumbuh bersamaan dengan perkembangan tehnologi modern. Sebagian
orang mengasosiasikannya dengan kemunculan budaya modern, atau menganggap sebagai
bagian dari budaya populer. Secara
singkat bila kita jabarkan dan analisa, memperlihatkan bahwa budaya populer
merupakan sebuah komoditas dari produksi massa, yang akhirnya menghasilkan
budaya massa. Pertanyaannya, apakah permasalahan ini memiliki pengaruh atau
dampak yang signifikan pada eksistensi kearifan lokal ?.
Argumentasi dari sejumlah literatur kajian menyatakan
bahwa, motivasi budaya massa adalah laba. Budaya massa telah menggeser kearifan
lokal yang merupakan budaya masyarakat yang sebenarnya. Dominasi produksi dan
konsumsi material dan hiburan modern, secara perlahan dan pasti akan mematikan
seni tradisional sebagai hiburan masyarakat lokal.
Penciptaan budaya masa berkaitan erat dengan hegemoni,
kekuasaan politik sosial ekonomi. Bagi masyarakat yang belum kokoh
identitasnya, akan mengalami degradasi budaya, dan hal nyata saat sekarang yang
dengan jelas dan kongkrit dapat kita buktikan adalah terjadinya kepanikan moral
diantara masyarakat. Satu komunitas atau kelompok masyarakat berusaha menguasai
kelompok masyarakat lain, suatu ideologi moral berusaha menanamkan hegemoninya
pada kelompok ideologi lain. Institusi sosial yang dimiliki negara, telah
berubah menjadi sarang penyamun dan menggerogoti hak-hak sosial ekonomi
masyarakat. Kelompok mayoritas berusaha menekan komunitas minoritas dengan
pelbagai cara tindakan kekerasan politiknya. Degradasi budaya memunculkan
kepanikan moral, dan akhirnya melunturkan nilai toleransi dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara secara luas.
Metodologi Etno-Dokumenter
Bagaimana media audiovisual (film/video) mampu
dijadikan media alternatif demi menopang atau mendukung tujuan pelestarian
kearifan lokal ?.
AudioVisual adalah media seni terakhir sekaligus
merupakan tehnologi baru yang memiliki sejumlah kemampuan dalam
mereperentasikan kehidupan semua mahluk, selain itu telah disepakati pula untuk
dapat dijadikan alat bantu utama bagi kegiatan penelitian ilmu pengetahuan.
Menggunakan media audiovisual seperti film atau video sebagai alat
pencatat/pengumpul data dapat dianggap sebagai metode tepat guna dengan tingkat
akurasi yang memadai untuk kebutuhan pengumpulan data penelitian dibandingkan
penggunaan catatan tertulis.
Antropolog Margaret Mead bersama Gregory Bateson seorang
sineas dokumenter, menggunakan media film untuk melakukan penelitian mengenai
tradisi lisan Calonarang di Bali,
yang menghasilkan karya etno-dokumenter “Trance
and Dance” 1942, Mead menggabungkan laporan tekstual dan data visual (foto/film).
Selain itu ada Robert Gardner yang merepresentsikan karya etno-dokumenternya
berjudul “Dead Birds” 1963 melaporkan
ritual perang suku Dani di Papua. Karya lain Gardner ialah “The Hunters” 1950, disini Gardner berkolaborasi dengan John Marshall, merepresentasikan
kehidupan masyarakat Kung Bushmen di jasirah Kalahari, Afrika. Hal ini
menyiratkan bahwa metodologi ini bukan hal baru bagi kegiatan kajian/penelitian
budaya maupun sosial. Meski di Indonesia sendiri bahkan di negara asia tenggara
lainnya, metodologi ini belum dikembangkan.
Pada kajian ini audiovisual bukan sekedar alat bantu
akan tetapi dijadikan media utama untuk merepresentasikan seni tradisi lisan.
Adanya motivasi merevitalisasi sekaligus melestarikan suatu aktivitas seni tradisi lisan, dapat
menggunakan media film khususnya dokumenter sebagai sebuah metode untuk tujuan
tersebut. Hal yang menjadi penentu kemasan adalah, tujuan dari produksi
tersebut, dan ini dapat dibagi dalam tiga bentuk garapan dan penuturan, yaitu :
- Tujuan
untuk publik khusus dengan bentuk kemasan edukasi
- Tujuan
untuk publik umum dengan bentuk kemasan instruksional
- Tujuan
untuk media massa televisi dengan bentuk kemasan hiburan
Dengan menggunakan media film, kita tidak lagi
terkungkung oleh batasan devinisi teks maupun lisan karena bentuk baru dua
dimensi ini mampu merangkum serta merepresentasikannya, terkait dengan tujuan
revitalisasi maupun pemeliharaan seni tradisi.
Literasi Media sebuah alternatif ?
Devinisi mengenai literasi media cukup banyak, untuk
itu saya mengulas garis besarnya saja, agar kita tidak berlama-lama tenggelam
dalam diskusi istilah, tetapi lebih fokus pada pemahaman literasi media terkait
dengan kearifan lokal. Literasi Media berarti pula melek media, yang artinya
merupakan usaha pemberdayaan pada masyarakat dalam menilai, mengkritisi serta
menganalisa semua sajian dagang yang disampaikan oleh media massa (koran,
radio, televisi dan internet).
Idealisme literasi media adalah memberikan
pembelajaran pada masyarakat luas, untuk mampu menciptakan filterisasi bagi
dirinya, keluarga dan lingkungannya, agar tidak terjebak kedalam ruang ilusi
dari sajian media massa, khususnya televisi dan media internet. Dengan demikian literasi media membantu
penguatan daya kritis khalayak luas terhadap pengaruh media.
Meski sebagian menganggap bahwa literasi media lebih
dekat pada ilmu pengetahuan komunikasi massa, akan tetapi kajian atau analisa
terhadap suatu permasalahan yang ada di masyarakat terhadap media massa, tak
bisa dilepaskan dari analisa kolaborasi dengan pengetahuan kajian ilmu budaya.
Hal ini perlu karena, setiap sajian kreatif komersil/konsumtif dari media massa
baik program televisi, iklan hingga game internet, itu berangkat dari
celah-celah budaya yang lemah dari masyarakatnya. Dengan demikian media massa
mampu membentuk budaya baru yang secara tak sadar diserap masyarakat dengan
anggapan bahwa ini adalah perkembangan dari budayanya sendiri. Sebagai contoh
sajian grup musik Talempong dari Sumatra, sekarang ini bila kita melihat
kesejumlah acara tardisi, posisinya sudah digantikan oleh musik organ tunggal.
Tentu alasan efisiensi ekonomis dapat diajukan sebagai argumentasi, akan tetapi
lama kelamaan ini sudah meresap dan tanpa disadari menjadi suatu kepercayaan
bahwa inilah sebuah perkembangan modern.
Dokumenter dan Kearifan Lokal
Perkembangan film dokumenter saat ini sudah cukup
ideal, yang masih kurang adalah lahan distribusi yang merata kepada semua
khalayak di Nusantara ini yang belum memadai. Program dokumenter di televisi
baik publik maupun swasta memang cukup memberikan perhatiannya, terlihat pada
sejumlah tayangan yang sayangnya, sebagian besar disajikan pada larut malam,
setelah program unggulan komersil (prime
time) mereka usai waktunya.
Disisi lain kegiatan alternatif yang mulai marak
adalah Festival Film Dokumenter disejumlah daerah Pulau Jawa dan Bali, memang
kedua wilayah ini masih mendominasi, dikarenakan letak strategis dan kegiatan
perfilman dan pertelevisian masih berpusat di Jakarta. Meski kita cukup merasa
bahagia dengan adanya kegiatan semacam ini, akan tetapi secara luas geografis
Indonesia yang demikian besar, tentu ini masih jauh dari ideal. Saya ambil
contoh di Negeri Belanda yang luasnya mungkin setengah pulau Jawa, hampir
disetiap kotanya memiliki kegiatan festival film dan seni. Selain kegiatan
festival, televisi publiknya memberikan fasilitas yang sangat ideal bagi
perkembangan film dokumenter dan seni pertunjukan.
Selain masih berpusat di Jawa dan Bali, secara nyata
di Sumatra Barat telah giat pula mengadakan festival film/video dokumenter yang dimotori oleh Dinas
Pariwisata dan Badan Pelestarian Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau. Bila yang
pertama orientasi peserta kompetisi festival adalah umum, sedangkan yang kedua,
siswa sekolah menengah menjadi tujuan utamanya.
Pada prinsipnya ini dapat dianggap sebuah kegiatan
kongkrit dalam artian mengembangkan program pelestarian budaya melalui media
film/video. Bila dicermati, pelaksanaan acara atau program macam ini masih
dapat lebih diberdayakan agar gaungnya mampu mencapai masyarakat Minangkabau
khususnya, dan masyarakat budaya lain secara umum.
Setelah memasuki tahun ke tiga, festival film
dokumenter kebudayaan (FFDK) di Padang, terlihat terus berusaha eksis dengan
segala kekurangannya, misalnya pada sisi pengalaman kegiatan festival film.
Akan tetapi disisi lain, festival semacam ini telah mengoleksi sejumlah data
visualisasi kearifan lokal Minangkabau. Dengan demikian bila kegiatan festival
semacam ini dapat terus berlanjut, tentunya dengan nilai penghargaan yang lebih
ideal bagi para pemenangnya, maka sudah dapat dikalkulasi materi pustaka visual
yang akan terkumpul dari tahun ke tahun.
1Upacara Ritual Ilau di Solok
Kegiatan pelestarian serupa ini perlu dilakukan dengan
sebuah kesungguhan idealisme, karena apabila hanya mengejar proyek kegiatan
budaya saja, maka pada akhirnya sudah dapat kita duga dan disayangkan materi
visual kearifan lokal ini akan tersia-siakan.
Selain kegiatan dari Dinas Pariwisata Daerah, ada
sebuah lembaga pelestarian sejarah dan budaya Minangkabau, yang juga
melaksanakan kegiatan yang sama. Perbedaannya adalah Balai Pelestarian Sejarah
dan Nilai Tradisional (BPSNT) Padang, memfokuskan perhatiannya pada peserta
remaja tingkat sekolah menengah (SLTA). Meski lembaga ini memfokuskan pada
peserta amatir, akan tetapi pada aspek lain, ini merupakan langkah revitalisasi
bagi remaja sebagai generasi muda belia untuk memahami akar budayanya, dengan
menggunakan media audiovisual.
Tentunya kegiatan festival film, baik film fiksi
maupun film dokumenter, perlu dibarengi dengan pendidikan mengenai produksi
film. Apakah bentuk pendidikan singkat seperti lokakarya, maupun yang agak
menengah seperti kursus. Tentunya ini perlu dilakukan untuk membantu serta
menyemangati para sineas muda SUMBAR untuk lebih berkembang penggarapan karya
filmnya. Karena dengan berkembangnya tehnik produksi dan garapannya, maka
festivalnya pun akan ikut menikmati kemajuan tersebut dengan mampu menampilkan
kreasi atau produksi film dokumenter yang lebih berkualitas. Maka dapat
diyakini bahwa dampak positif bagi kelanjutan kegiatan festival semacm ini atau
kegiatan produksi akan lebih positif bagi kearifan lokal dan generasi baru
didaerah.
Pada hakikatnya kegiatan festival film dokumenter
maupun lokakarya produksi film, di daerah Sumatra Barat, merupakan suatu
kegiatan yang sangat bermanfaat bagi eksistensi seni tradisi sebagai filter
untuk mengantisipasi serangan media global, yang terwakili melalui film-film
import. Kemudian yang lebih tajam pengaruhnya adalah media televisi swasta
komersil. Media massa ini tidak lagi memberikan atau memiliki ketulusan
ideologi kearifan lokal dalam menyajikan programnya, karena motivasinya hanya
mencari keuntungan sebesarnya dengan menjual program sesederhana mungkin dengan
tingkat sensasi yang tinggi, agar produk dagangnya laku keras dipasaran publik
pemirsanya.
Dengan adanya kegiatan produksi dan festival
dokumenter budaya di daerah, seperti yang dilaksanakan dibeberapa daerah, maka
secara tak langsung menjadi filter bagi serangan global budaya populer yang
melatari komersialisasi televisi. Masyarakat pemirsa kita tak bisa berharap
banyak pada kebijakan pemerintah dan lembaganya yang menaungi keliaran program
televisi swasta. Ini merupakan sebab akibat dari pada sistim kepemilikan
televisi swasta di Indonesia, dimana sebagian besar pemilik modal merangkap
menjadi penguasa, sehingga etika jurnalistik serta objektivitas penyajian
program atau mata acaranya, tidak lagi mementingkan kepentingan publik
pemirsanya, akan tetapi lebih berorientasi pada keuntungan bisnis dan tujuan politiknya.
Gerzon Ayawaila
Sineas Dokumeter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar