Senin, 14 September 2009

Visi Nasional Melalui Dokumenter

msohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx">

Minggu, 15 Maret 2009 , 10:54:00

Visi Nasional Melalui Film Dokumenter

OSCAR 2009 baru saja berlalu dan meninggalkan prestasi yang menarik, karena film dokumenter panjang Man on Wire dan dokumenter pendek Smile Pinky menjadi pemenangnya. Lalu, bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Kita akan membicarakannya dengan Gerzon R. Ayawaila, dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang pernah menjadi juri Festival Film Indonesia (FFI) dan seorang sutradara film dokumenter.

Gerzon R. Ayawaila mengatakan, dokumenter bukan sekadar sebuah produk entertaiment, tapi menjadi sebuah produk untuk media pembelajaran yang maknanya lebih dalam dan jauh. Misalnya, saudara-saudara kita di daerah yang tingkat pendidikannya sangat rendah sehingga membaca pun tidak bisa, ketika kami putarkan sebuah film instructional documenter mereka langsung paham. Padahal penyuluhan telah dilakukan beberapa kali, tapi mereka tetap tidak paham.
Menurut Gerzon, tayangan Discovery-National Geography mau dan berani investasi di documenter, karena melihat nanti mereka akan memiliki arsip visual mengenai dunia. Jadi, nanti agak dramatis kalau anak cucu kita ingin mengetahui atau menonton kesenian Dayak harus membeli di Discovery, karena kita tidak memiliki dokumentasi visualnya lagi. Hal-hal seperti itu yang kita di Indonesia belum melihatnya. Jadi film dokumenter merupakan investasi jangka panjang, paling tidak untuk arsip visual bagi kita. Berikut wawancara Jaleswari Pramodhawardani dengan Gerzon R. Ayawaila.

Ketika berbicara film dokumenter mungkin tidak sejelas kalau kita berbicara film fiksi. Bagi orang awam, film dokumenter adalah film hitam putih, dan juga film yang berbicara mengenai kenyataan tapi kemudian timbul pertanyaan mengenai seperti apa kenyataan itu. Menurut Anda, apa sebenarnya film dokumenter?

Kalau kita ingin menjabarkan film dokumenter tentu tidak bisa sekilas, karena memang panjang penjelasannya. Namun bisa diawali dengan penjelasan bahwa film pertama dunia adalah film dokumenter, bukan film cerita atau film lainnya. Kalau kita lihat berapa dekade lalu, film dokumenter pasti hitam putih tapi sebenarnya bukan soal warna dan teknis yang membedakannya dengan film fiksi. Yang membedakannya adalah isinya. Film dokumenter menuturkan suatu peristiwa yang otentik dan apa adanya. Itu tentu berbeda dengan film fiksi yang kisah atau penuturannya merupakan suatu kreatifitas imajinatif.

Kalau kita merujuk ke film Indonesia, apa yang disebut film dokumenter itu? Apakah seperti jenis film G30S PKI?

Kalau film G30S PKI, yang pada masa Orde Baru setiap tahun diputar, masih satu rumpun dengan dokumenter, tapi lebih disebut dengan istilah dokudrama. Dokudrama atau bahasa umumnya kisah nyata (true strory), sebenarnya sebuah kisah rekonstruksi dari sebuah peristiwa yang benar-benar terjadi. Perbedaan antara dokudrama dan dokumenter ada pada tujuannya. Dokudrama lebih komersil, jadi untuk diperdagangkan secara jelas. Sementara dokumenter mempunyai aspek lebih luas yaitu bisa komersil dan bisa tidak sama sekali.

Lalu kalau kita melihat sejarahnya, bagaimana sejarah film dokumenter di Indonesia?

Kalau secara sejarahnya, dokumenter itu sangat kelam sekali. Kita berawal dengan kolonialisme. Ketika Belanda mulai memperkenalkan filmnya, yang sekarang kita kenal dengan layar tancap di daerah Kebon Kacang, belakang Hotel Indonesia-Jakarta, merupakan film dokumenter. Belanda memperlihatkan kejayaan dan kemewahan ratu mereka. Kemudian pada saat itu banyak diproduksi film-film dokumenter yang tujuannya memang propaganda. Dalam hal ini film dokumenter itu bisa menjadi media pembelajaran yang bersifat pencerahan, tapi juga bisa memberikan pemahaman yang justru manipulatif. Itu yang agak sensitif dari film dokumenter dibanding cerita biasa.

Apa maksudnya manipulatif di sini?

Misalnya, dari tujuan untuk memberikan visi baru atau pemahaman baru, tetapi sebenarnya film dokumentar bisa menjadi suatu upaya propaganda untuk memanipulasi fakta yang ada. Pada perang dunia ke-2, Adolf Hitler (pemimpin NAZI Jerman, Red) sangat piawai dalam menciptakan film dokumenter menjadi satu mitos dunia. Sedangkan di Indonesia, Belanda jelas mempropagandakan keindahan Hindia-Belanda kepada rakyatnya sendiri, bahwa di Indonesia tidak ada penderitaan dan hidupnya bagai di surga. Itu contoh dari manipulatif film dokumenter menjadi tujuan propaganda.
Setelah Belanda, Jepang masuk ke Indonesia. Jepang sama saja bahkan lebih jeli dari Belanda dengan masuk ke dalam kesenian Indonesia terutama film. Kemudian kita masuk ke zaman Orde Lama. Mungkin Orde Lama masih sibuk dengan urusan rumah tangganya, sehingga tidak terlalu besar perhatian pada film terutama dokumenter. Zaman Orde Lama masih juga bersifat propaganda, tapi untuk tujuan atau membangun nasionalisme di Indonesia. Setelah itu kita masuk Orde Baru. Pada zaman ini juga masih bersifat propaganda dan itu sangat jelas, sehingga masyarakat umum sampai tidak tahu kalau itu namanya film dokumenter.

Bagaimana kalau film dokumenter di TV?

Kalau di TV, masyarakat lebih mengetahuinya sebagai film penyuluhan atau program penyuluhan, dan tidak mengetahui kalau itu film dokumenter juga. Itu bentuk propaganda atau rekayasa dari film dokumenter. Menjelang akhir kekuasaan Orde Baru, ada beberapa kawan saya dengan produsernya antara lain Mira Lesmana didukung teman-teman yang cukup memiliki talenta seperti Riri Riza, Nan T Achnas membuat dokumenter seri berjudul 'Anak Seribu Pulau'. Meskipun itu konsepnya film tapi ditayangkan di televisi. Itu merupakan nafas baru bagi dunia dokumenter di Indonesia.
Itu film dokumenter, hanya istilahnya saja dokumenter televisi dan dokumenter film. Saat itulah Mira dan kawan-kawan mampu menembus hegemoni televisi untuk menayangkan film dokumenter ke seluruh televisi. Itu salah satu dobrakan yang saya perlu acungkan jempol. Kemudian ada satu kawan lagi, yaitu Tino Sawunggalu membuat sebuah dokumenter yang saya anggap mampu menembus jaringan bioskop 21. Judulnya kalau tidak salah, 'Student Movement' mengenai peristiwa Mei 1998. Saya kagum, karena mengetahui bagaimana pontan-panting dia dalam mencari biaya pembuatan film itu.

Mengapa tidak ada yang tertarik mensponsori film dokumenter?

Film dokumenter masih dilihat sebagai proyek rugi, karena biaya pembuatannya besar tapi tidak bisa dijual. Proses pembuatannya minimal 1-2 tahun. Jadi hanya produser-produser yang idealis yang membuatnya. Biasanya yang mensponsori adalah lembaga donor luar maupun dalam negeri. Namun dengan media televisi, dokumenter makin berkembang membuat kita menjadi rancu sendiri walaupun ada juga yang masih tetap di jalurnya. Yang tetap di jalurnya mendistribusikan filmnya ke festival atau TV asing. Kita sebenarnya belum melihat dokumenter bisa menjadi produk yang memiliki pemirsa sendiri.

Jika kita melihat Academy Award Festival (Oscar), terlihat bahwa penghargaan terhadap film dokumenter setara dengan film fiksi lainnya? Bagaimana dengan penghargaan film dokumenter di Festival Film Indonesia (FFI)? Karena kita tidak tahu apa film dokumenter yang dianggap terbaik di Indonesia?

Saya agak takut menjawab mengenai mana yang terbaik. Yang baik banyak, misalnya, kalau tidak salah pada 2006 pemenangnya adalah, teman saya Wiranegara yang membuat film mengenai potret Pakubuwono XII. Bagi saya, itu karya dahsyat karena dia membuat film itu dalam kurun dua tahun dengan durasi 48 - 52 menit. Dia menang di FFI, tapi itu sebuah proses panjang dengan pontang-panting. Sebuah proyek idealis walaupun akhirnya dia mendapat bantuan juga. Yang seperti itu jarang sekali. Di Indonesia memang kurang sekali ada stimulus. Apalagi sekarang semuanya menjadi distribusi televise, sehingga apapun bentuknya tetap untuk program televisi.
Ini membedakannya dengan di luar negeri, di mana bisa menjadi film dokumenter atau dokumenter televisi. Misalnya, festival yang cukup besar dan bergengsi di Belanda, yaitu International Documentary Festival Amsterdam (IDFA) menjadi pelopor festival dunia untuk dokumenter. Di situ ada berbagai jenis kriteria penilaian seperti ada film dokumenter berdurasi 1-1,5 jam, dan short documentary berdurasi 40-45 menit. Ada juga video documentary yang biasanya dibuat untuk televisi. Jadi di sana dibuat berbagai jenis kriterianya yang saya anggap, “Kok mereka berani membuatnya?” Kita semua mungkin mengetahui tayangan Discovery, National Geography di mana semua dokumenter ada di situ dan mereka mampu membuatnya.
Kita melihat mereka mau investasi di documenter, karena menyadari nanti mereka akan memiliki arsip visual mengenai dunia. Jadi nanti agak dramatis kalau anak cucu kita ingin mengetahui atau menonton kesenian Dayak harus membeli pada program Discovery, karena kita tidak memiliki dokumentasi visualnya lagi. Hal-hal seperti itu yang kita di Indonesia belum melihatnya. Jadi ini sebuah investasi jangka panjang, paling tidak untuk arsip visual bagi kita.

Apakah sekarang di Indonesia ada atau tidak semacam komunitas, atau institusi yang menyelenggarakan secara berkala festival film dokumenter seperti di Amsterdam tadi?

Kalau belakangan ini bagi saya pribadi paling tidak, sangat cukup bahagia dengan pertumbuhan atau perkembangan yang ada. Ada satu forum yang sampai sekarang tetap menggelarnya yaitu Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta. Itu dilakukan setiap tahun dengan peserta dari seluruh mancanegara. Jadi ada sutradara-sutradara asing yang datang dan mengikutsertakan filmnya. Kemudian di Jakarta ada Jakarta International Film Festival (JiFFest), yang memutar sejumlah film dokumenter.
Pelopor atau pendirinya adalah Shanti Harmen, orang yang memang berangkat dari dokumenter. Dia memberikan sesi dokumenter dan film-film dokumenter untuk ditonton di JiFFest. Jadi di Indonesia cuma ada dua yaitu JiFFest dan FFD. FFD ini khusus dokumenter, sedangkan JiFFest masih campuran. Saya lihat kedua festival tersebut ada pertumbuhannya, sehingga kalau mereka terus mendapat dukungan maka akan menjadi level dunia karena sudah mulai dikenal. Jadi kini tergantung bagaimana menjaga level tersebut atau keberadaan mereka. Kemudian yang kecil-kecil ada beberapa kali saya juga dipanggil, misalnya untuk lembaga pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM), tapi itu berdasarkan event jadi bukan status yang reguler.

Anda dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ), bagaimana dokumenter di IKJ?

Di IKJ kita sedang menyiapkannya untuk menjadi sebuah program studi. Kalau untuk jurusan mungkin agak berat baik menyangkut biaya maupun sumber daya manusia (SDM) pengajar. Kalau sekarang istilahnya รข€›major’ dalam mengambil dokumenter di IKJ.

Apakah mahasiswanya banyak?

Sangat minim. Paling banyak sekarang adalah sutradara karena anak sekarang maunya menjadi sutradara, menjadi selebritis.

Mengapa Anda memilih dokumenter?

Sedikit bernostalgia, saya sekolah film tetapi saya tidak terlalu tergila-gila untuk nonton film fiksi. Kemudian ada salah satu almarhum dosen saya yang menemukan bahwa, ”Ini lho anak sekolah film tetapi tidak mau menonton film.” Pada 1970-an kalau kita menonton di bioskop maka di depanya akan ada semacam news reel yang diputar. Semacam film berita, karena kalau tidak salah Televisi Republik Indonesia (TVRI) memiliki news yang lebih aktual sedangkan ini lebih kepada film berita. Saya lebih suka itu, bahkan ketika saya nonton filmnya putus saya malah keluar. Selain itu, nilai saya di film fiksi kok jelek terus.
Akhirnya dia yang mengarahkan saya ke dokumenter. Dialah yang menjadi guru saya sebenarnya. Namanya D.A. Peransi, seorang seniman yang buat saya besar meskipun publik tidak terlalu mengenalnya. Dari situ saya mulai terus menekuni dokumenter sampai ketika saya kemudian kembali ke almamater.

Apakah memang ada masa Anda meninggalkan almamater kemudian kembali lagi?

Ya saya pernah merantau keluar negeri untuk sedikit belajar tentang Antoprologi Visual, misalnya. Saya belajar di Universitas Van Amsterdam, kemudian sempat bekerja di Radio Nederlands Wereld Omroep, di Hilversum-Belanda. Teman-teman memprovokasi saya untuk kembali, akhirnya saya kembali dan membangun pelajaran perkuliahan dokumenter di IKJ.

Apakah Anda kini juga membangun semacam komunitas?

Iya, awalnya itu alumni berkumpul dan mereka mengatakan kok kita tampaknya marjinal sekali di dalam dunia film. Kita tidak ada komunitasnya, tidak ada wadahnya. Hal itu yang kemudian memberikan inspirasi kepada kawan-kawan untuk membentuk komunitas. Apalagi saat itu, sekitar 1998, Tino dengan filmnya ”Student Movement” mampu menembus bioskop. Nah, kemudian mereka mulai gelisah dan akhirnya pada tahun 2000 kita mendirikan semacam wadah komunikatif, semacam komunitas kreator visual alternatif. Jadi memang alternatif bukan yang lazim begitu. Kemudian terus berkembang sampai sekarang dan perkembangannya cukup baik.

Apa saja programnya?

Programnya banyak dari mulai pendidikan film dokumenter sampai yang terakhir kami juga sedikit membantu kawan-kawan di televisi daerah, televisi lokal untuk memberikan semacam peningkatan SDM. Dengan mengusung tema tentang multikultural agar bisa lebih dikembangkan, disosialisasikan di Indonesia, maka mereka harus memproduksi semua seni tradisi yang tidak umum. Misalnya, Bali harus memproduksi sebuah seni tradisi, seni pertunjukan tradisional yang bukan untuk turis. Nah ternyata itu sangat berhasil dan sampai kini jaringan-jaringan dan komunitas dokumentar makin tumbuh banyak. Bagi saya ini tentu sesuatu yang membahagiakan.

Kalau melihat yang Anda paparkan berarti ini sangat prospektif apalagi kini era otonomi daerah, sehingga TV lokal menjamur. Jadi sebetulnya kalau kita mau bicara bisnis maka ini lahan buat pekerja-pekerja film dokumenter. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?

Bisa jadi pada 2009 merupakan tahun pesta pora. Saya rasa memang mungkin ada rezeki yang bisa terbagi banyak untuk para pembuat dokumenter. Cuma saja, saya tidak tahu kelanjutannya karena juga melihat kawan-kawan di daerah yang memang harus survive, dan strategi mereka adalah mencari dana dari kampanye-kampanye, pemilihan kepala daerah (Pilkada), dan sebagainya. Setelah itu mereka akhirnya tidak membuat lagi. Ada beberapa TV seperti Bali TV sangat semangat terus dalam dokumenter. Kami terus mengadakan diskusi baik secara virtual maupun korespondensi, dan buat saya ini menjanjikan.
Intinya, kita belum melihat bahwa dokumenter bukan sekadar sebuah produk entertaiment, tapi sebuah produk untuk media pembelajaran yang maknanya lebih dalam dan lebih jauh. Misalnya, saudara-saudara kita di daerah yang tingkat pendidikannya sangat rendah, sehingga membaca pun tidak bisa. Namun langsung paham, ketika kami putarkan sebuah film instructional documenter. Hasilnya sangat berbeda. Ketika kegiatan penyuluhan telah dilakukan beberapa kali, mereka tetap tidak paham. Sebaliknya begitu menonton film, mereka langsung paham.**