Minggu, 30 September 2012

Televisi Publik Menuju Citra Baru


 

Sekapur Sirih
Dunia pertelevisian kian hari kian meningkat apresiasi kemasan, tehnologi, serta pasar publiknya. Media audio-visual  adalah media komunikasi masa depan, dan televisi bukan lagi satu-satunya alternatif publik bila ingin menikmati citra bergambar. Kini muncul Cyber Media dengan tehnologi digital, yang memiliki daya siar hingga kepelosok muka bumi.
Kekuatan televisi publik pada umumnya ada pada program-program dokumenter, magazine dan feature. Sebagai contoh sekaligus bukti, hal ini dapat dilihat pada sejumlah besar program televisi publik asing seperti BBC, NHK, NOS, dan lainnya, dimana banyak sekali diproduksi karya-karya dokumenter.
Falsafah Televisi Publik adalah ; “dengan modal yang layak mampu memberikan keuntungan sosial bagi masyarakat” dan ini sangat berbeda dengan motivasi televisi swasta yaitu; “dengan modal sedikit mampu mendapatkan keuntungan komersil berlipat ganda”. Sehingga bukan suatu yang berlebihan apabila TVRI perlu kembali memperkuat posisinya sebagai televisi layanan masyarakat.

Produksi dokumenter sebenarnya tak hanya bertujuan menyajikan informasi dan hiburan semata, tetapi memberikan pembelajaran budaya melalui rekam jejak sejarahnya, yang kemudian dapat disimpan sebagai pustaka visual yang sangat bernilai. Sudah menjadi suatu pengakuan bahwa, dokumenter mampu mengadakan komunikasi universal yang dapat diterima dan dipahami setiap manusia sosial diseluruh penjuru dunia.
Evaluasi Kualitatif, sebuah Lintas Pengamatan


Selama tahun 2010, sejumlah pelatihan/pembinaan dilakukan diberbagai stasiun televisi daerah, khususnya pembinaan/pelatihan kreatif untuk lebih mengoptimalkan kemasan produksi dokumenter sebagai bagian dari program non-fiksi.[1] Beberapa hal menjadi perhatian selama dilaksanakannya pelatihan tersebut adalah, masih perlunya peningkatan pemahaman atas konsep dokumenter yang terbagi dalam tiga tahap yaitu Pra Produksi, Produksi dan Paska Produksi. Disamping itu yang tak kalah pentingnya adalah, perhatian pada motivasi kreatif yang perlu digalakan dalam pengembangan ide/gagasan, konsep, dan konteksnya, tentunya permasalahan ini perlu ditunjang oleh aspek estetika yang terkait dengan tehnik Sinematografi dan Editing.

Dokumenter dari Ide hingga Produksi
Dokumenter saat ini sudah melampaui perkembangan yang sangat pesat baik dalam bidang film dokumenter maupun televisi dokumenter. Khususnya dokumenter televisi justru mengalami perkembangan kemasan kreatif yang lebih pesat dibanding film dokumenter.
Dari tinjauan selama pelatihan di beberapa tempat, kemasan dokumenter yang ada masih terlihat tetap awet berpijak pada ide dan kemasan konvensional. Perlu ditekankan disini bahwa hal ini tak saja terdapat di TVRI tetapi mencakup semua program dokumenter di televisi Indonesia.
Perkembangan ini terasa sangat lambat karena mungkin adanya permasalahan pemahaman konsep kerja di pertelevisian. Dimana hingga kini dokumenter masih dimasukan kedalam departemen berita, padahal untuk kreator dokumenter itu harus berdiri sendiri. Untuk menggarap dokumenter meski ada unsur jurnalistiknya akan tetapi 90% ide kemasannya berbeda. Konsep, kemasan dan prosedur kerja reportase tak bisa langsung diadaptasikan ke konsep kreatif dokumenter, meski keduanya memiliki keterikatan sejarah dalam perkembangan media massa.

Penyutradaraan
Suatu penuturan dokumenter akan bisa terasa kedalaman human interestnya serta dramatikanya, apabila pada tahap Pra-Produksi, dilakukan riset yang ideal, sehingga mendapatkan data/informasi  yang akurat serta memiliki kedekatan dengan subjeknya. Riset adalah jantung dari dokumenter. Maka berbicara mengenai konsep garapan penyutradaraan, hal ini baru dapat dibahas apabila telah memiliki data riset yang memadai. Selama ini bahwa riset tidak mendapat perhatian sepenuhnya. mungkin saja hal ini akibat dari sangat singkatnya shooting day yang diberikan kepada kru dokumenter untuk melaksanakan produksinya. Sehingga bukan suatu yang aneh apabila riset/hunting yang dilakukan kurang memadai.

Sinematografi
Berbicara mengenai tata kamera atau sinematografi, berarti berbicara mengenai komposisi gambar atau framing, gerak kamera (camera movement), dan pencahayaan (lighting). Tehnik menata sudut/posisi kamera baik untuk dokumenter (single camera) maupun untuk program di studio (multi camera), masih dirasakan kurangnya progres terhadap estetika, dalam hal ini penempatan sudut perekaman gambar (angle camera) yang bermakna pada komposisi gambar atau framing.
Dibeberapa daerah, beberapa kameraman yang umumnya generasi muda, telah memperlihatkan kerja karya yang mengagumkan. Seperti yang penulis lihat di TVRI Palu, dimana ada kamerawati muda memiliki potensi dalam hal sentuhan estetika gambar. Karena ini masih bersifat intuitif maka perlu diberikan pemahaman teoritis agar talenta yang ada dapat lebih disempurnakan untuk memahami makna dari setiap gambar/shot serta dampak psikologis apa yang didapat dari sebuah shot atau gambar.

Editing
Dari sisi tehnik editing, sentuhan pada ritme khususnya dokumenter terasa masih perlu ditingkatkan lagi, dengan mendapatkan pemahaman teori mengenai editing. Ritme penting pada setiap perpindahan atau pergantian gambar/shot/scene agar dapat lebih menarik dan memukau penonton. Tehnik editing untuk dokumenter pada hakikatnya lebih sulit dibanding editing untuk film fiksi. Karena dari materi shot yang kadang tidak terkonstruksi, editor harus menyusun kembali serta menata setiap shot/scene agar keseluruhan struktur dan alur penuturan menjadi menarik.
Selain itu editor perlu memahami perangkat keras dan lunak sebagai pemahaman tehnologi baru, karena editing juga terkait dengan efek-efek digital yang saat ini sudah sangat memukau perkembangan kemasannya.

Kesimpulan
Sebagai pemateri pada program pelatihan/pembinaan, umumnya pelaksanaan pembinaan atau pelatihan dilakukan hanya di dalam ruang/kelas saja, ketika di TVRI Palu penulis baru pertamakali mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam praktek shooting di lapangan/out door, sehingga evaluasi ini tak bisa sepenuhnya dijadikan acuan yang ideal untuk suatu evaluasi dan penilaian yang merata. Mengapa demikian ?, karena turun kelapangan dan berperan serta didalam produksi praktek lapangan sangat ideal untuk memberikan kesempatan pada pemateri dokumenter mengamati serta memberi masukan pada peserta pembinaan agar dapat menilai secara langsung kinerja yang ada.
Tiga aspek utama dari unsur kreatif dalam sebuah produksi dokumenter seperti Penyutradaraan, Sinematografi dan Editing masih perlu dikembangkan lagi didalam setiap program pembinaan/pelatihan, khususnya bagi para kreator muda yang berkarya di TVRI.
Untuk program berikutnya usul penul;is adalah, akan sangat signifikan apabila disetiap pelatihan, pemateri juga turun kelapangan untuk dapat memberi masukan langsung pada peserta. Apabila pembinaan hanya dilakukan di ruang kelas saja, maka menurut penulis hasil perkembangan yang lebih positif dalam setiap karya produksi tak akan mencapai hasil maksimal.

25 September 2012
Gerzon. R.Ayawaila
Pemateri Dokumenter


[1] Istilah ini menurut penulis lebih tepat daripada menggunakan istilah Non Drama, karena garapan dokumenter juga memiliki aspek dramatik, meski tidak terlalu terpaku pada dramaturgi, karena dokumenter  lebih mengutamakan konteks atau isinya daripada kepentingan ploting

Tidak ada komentar:

Posting Komentar