Kamis, 20 September 2012

Etno Dokumenter untuk Kearifan Lokal


Mengakui keprihatinan bersama mengenai eksistensi kegiatan tradisi lokal di sejumlahbesar daerah di wilayah Nusantara, tentu perlu menjadi kesadaran bersama, bila memang kita menyadarinya. Indonesia sebagai negara kesatuan yang terdiri dari kumpulan wilayah/daerah, telah menjadikan negara ini kaya akan kearifan lokalnya, misalnya seni pertunjukan tradisional, seni ritual hingga seni tradisi lisan. Akan tetapi kekayaan budaya ini semakin hari semakin menipis, dan bukan sebuah mimpi bila pada akhirnya sebagian besar akan punah, dan sebagian sisanya yang masih bertahan akan mengalami perubahan bentuk keasliannya (orisinalitas).

Sejumlah kegiatan seni tari memang sering dipentaskan dalam beberapa ajang pertunjukan, baik komersil maupun ajang kompetisi dan eksibisi pada beberapa festival nasional dan internasional. Pertanyaannya, apakah ini sudah cukup ideal untuk tujuan pelestarian maupun revitalisasi kearifan budaya lokal ?.
Untuk memelihara keaslian warisan leluhur kita ini, mungkin ada alternatif lain yang bisa membantu dalam bentuk lain, misalnya bantuan teknologi modern, dalam bentuk media lain atau media baru. Tentu teknologi modern ini memiliki keterbatasan, yaitu hanya dalam kapasitas sebagai alternatif pendokumentasian untuk tujuan pembelajaran dan perpustakaan visual.
Media audiovisual (film/video) adalah media seni termuda yang tumbuh bersamaan dengan perkembangan tehnologi modern. Sebagian orang mengasosiasikannya dengan kemunculan budaya modern, atau menganggap sebagai bagian dari budaya populer.  Secara singkat bila kita jabarkan dan analisa, memperlihatkan bahwa budaya populer merupakan sebuah komoditas dari produksi massa, yang akhirnya menghasilkan budaya massa. Pertanyaannya, apakah permasalahan ini memiliki pengaruh atau dampak yang signifikan pada eksistensi kearifan lokal ?. 
Argumentasi dari sejumlah literatur kajian menyatakan bahwa, motivasi budaya massa adalah laba. Budaya massa telah menggeser kearifan lokal yang merupakan budaya masyarakat yang sebenarnya. Dominasi produksi dan konsumsi material dan hiburan modern, secara perlahan dan pasti akan mematikan seni tradisional sebagai hiburan masyarakat lokal.  
Penciptaan budaya masa berkaitan erat dengan hegemoni, kekuasaan politik sosial ekonomi. Bagi masyarakat yang belum kokoh identitasnya, akan mengalami degradasi budaya, dan hal nyata saat sekarang yang dengan jelas dan kongkrit dapat kita buktikan adalah terjadinya kepanikan moral diantara masyarakat. Satu komunitas atau kelompok masyarakat berusaha menguasai kelompok masyarakat lain, suatu ideologi moral berusaha menanamkan hegemoninya pada kelompok ideologi lain. Institusi sosial yang dimiliki negara, telah berubah menjadi sarang penyamun dan menggerogoti hak-hak sosial ekonomi masyarakat. Kelompok mayoritas berusaha menekan komunitas minoritas dengan pelbagai cara tindakan kekerasan politiknya. Degradasi budaya memunculkan kepanikan moral, dan akhirnya melunturkan nilai toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara luas.

Metodologi Etno-Dokumenter
Bagaimana media audiovisual (film/video) mampu dijadikan media alternatif demi menopang atau mendukung tujuan pelestarian kearifan lokal ?.
AudioVisual adalah media seni terakhir sekaligus merupakan tehnologi baru yang memiliki sejumlah kemampuan dalam mereperentasikan kehidupan semua mahluk, selain itu telah disepakati pula untuk dapat dijadikan alat bantu utama bagi kegiatan penelitian ilmu pengetahuan. Menggunakan media audiovisual seperti film atau video sebagai alat pencatat/pengumpul data dapat dianggap sebagai metode tepat guna dengan tingkat akurasi yang memadai untuk kebutuhan pengumpulan data penelitian dibandingkan penggunaan catatan tertulis.
Antropolog Margaret Mead bersama Gregory Bateson seorang sineas dokumenter, menggunakan media film untuk melakukan penelitian mengenai tradisi lisan Calonarang di Bali, yang menghasilkan karya etno-dokumenter “Trance and Dance” 1942, Mead menggabungkan laporan tekstual dan data visual (foto/film). Selain itu ada Robert Gardner yang merepresentsikan karya etno-dokumenternya berjudul “Dead Birds” 1963 melaporkan ritual perang suku Dani di Papua. Karya lain Gardner ialah “The Hunters” 1950, disini Gardner  berkolaborasi dengan John Marshall, merepresentasikan kehidupan masyarakat Kung Bushmen di jasirah Kalahari, Afrika. Hal ini menyiratkan bahwa metodologi ini bukan hal baru bagi kegiatan kajian/penelitian budaya maupun sosial. Meski di Indonesia sendiri bahkan di negara asia tenggara lainnya, metodologi ini belum dikembangkan.
Pada kajian ini audiovisual bukan sekedar alat bantu akan tetapi dijadikan media utama untuk merepresentasikan seni tradisi lisan. Adanya motivasi merevitalisasi sekaligus melestarikan suatu  aktivitas seni tradisi lisan, dapat menggunakan media film khususnya dokumenter sebagai sebuah metode untuk tujuan tersebut. Hal yang menjadi penentu kemasan adalah, tujuan dari produksi tersebut, dan ini dapat dibagi dalam tiga bentuk garapan dan penuturan, yaitu :
  1. Tujuan untuk publik khusus dengan bentuk kemasan edukasi
  2. Tujuan untuk publik umum dengan bentuk kemasan instruksional
  3. Tujuan untuk media massa televisi dengan bentuk kemasan hiburan 
Dengan menggunakan media film, kita tidak lagi terkungkung oleh batasan devinisi teks maupun lisan karena bentuk baru dua dimensi ini mampu merangkum serta merepresentasikannya, terkait dengan tujuan revitalisasi maupun pemeliharaan seni tradisi. 

Literasi Media sebuah alternatif ?
Devinisi mengenai literasi media cukup banyak, untuk itu saya mengulas garis besarnya saja, agar kita tidak berlama-lama tenggelam dalam diskusi istilah, tetapi lebih fokus pada pemahaman literasi media terkait dengan kearifan lokal. Literasi Media berarti pula melek media, yang artinya merupakan usaha pemberdayaan pada masyarakat dalam menilai, mengkritisi serta menganalisa semua sajian dagang yang disampaikan oleh media massa (koran, radio, televisi dan internet).
Idealisme literasi media adalah memberikan pembelajaran pada masyarakat luas, untuk mampu menciptakan filterisasi bagi dirinya, keluarga dan lingkungannya, agar tidak terjebak kedalam ruang ilusi dari sajian media massa, khususnya televisi dan media internet.  Dengan demikian literasi media membantu penguatan daya kritis khalayak luas terhadap pengaruh media.
Meski sebagian menganggap bahwa literasi media lebih dekat pada ilmu pengetahuan komunikasi massa, akan tetapi kajian atau analisa terhadap suatu permasalahan yang ada di masyarakat terhadap media massa, tak bisa dilepaskan dari analisa kolaborasi dengan pengetahuan kajian ilmu budaya. Hal ini perlu karena, setiap sajian kreatif komersil/konsumtif dari media massa baik program televisi, iklan hingga game internet, itu berangkat dari celah-celah budaya yang lemah dari masyarakatnya. Dengan demikian media massa mampu membentuk budaya baru yang secara tak sadar diserap masyarakat dengan anggapan bahwa ini adalah perkembangan dari budayanya sendiri. Sebagai contoh sajian grup musik Talempong dari Sumatra, sekarang ini bila kita melihat kesejumlah acara tardisi, posisinya sudah digantikan oleh musik organ tunggal. Tentu alasan efisiensi ekonomis dapat diajukan sebagai argumentasi, akan tetapi lama kelamaan ini sudah meresap dan tanpa disadari menjadi suatu kepercayaan bahwa inilah sebuah perkembangan modern.

Dokumenter dan Kearifan Lokal
Perkembangan film dokumenter saat ini sudah cukup ideal, yang masih kurang adalah lahan distribusi yang merata kepada semua khalayak di Nusantara ini yang belum memadai. Program dokumenter di televisi baik publik maupun swasta memang cukup memberikan perhatiannya, terlihat pada sejumlah tayangan yang sayangnya, sebagian besar disajikan pada larut malam, setelah program unggulan komersil (prime time) mereka usai waktunya.
Disisi lain kegiatan alternatif yang mulai marak adalah Festival Film Dokumenter disejumlah daerah Pulau Jawa dan Bali, memang kedua wilayah ini masih mendominasi, dikarenakan letak strategis dan kegiatan perfilman dan pertelevisian masih berpusat di Jakarta. Meski kita cukup merasa bahagia dengan adanya kegiatan semacam ini, akan tetapi secara luas geografis Indonesia yang demikian besar, tentu ini masih jauh dari ideal. Saya ambil contoh di Negeri Belanda yang luasnya mungkin setengah pulau Jawa, hampir disetiap kotanya memiliki kegiatan festival film dan seni. Selain kegiatan festival, televisi publiknya memberikan fasilitas yang sangat ideal bagi perkembangan film dokumenter dan seni pertunjukan. 
Selain masih berpusat di Jawa dan Bali, secara nyata di Sumatra Barat telah giat pula mengadakan festival film/video  dokumenter yang dimotori oleh Dinas Pariwisata dan Badan Pelestarian Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau. Bila yang pertama orientasi peserta kompetisi festival adalah umum, sedangkan yang kedua, siswa sekolah menengah menjadi tujuan utamanya.
Pada prinsipnya ini dapat dianggap sebuah kegiatan kongkrit dalam artian mengembangkan program pelestarian budaya melalui media film/video. Bila dicermati, pelaksanaan acara atau program macam ini masih dapat lebih diberdayakan agar gaungnya mampu mencapai masyarakat Minangkabau khususnya, dan masyarakat budaya lain secara umum.
Setelah memasuki tahun ke tiga, festival film dokumenter kebudayaan (FFDK) di Padang, terlihat terus berusaha eksis dengan segala kekurangannya, misalnya pada sisi pengalaman kegiatan festival film. Akan tetapi disisi lain, festival semacam ini telah mengoleksi sejumlah data visualisasi kearifan lokal Minangkabau. Dengan demikian bila kegiatan festival semacam ini dapat terus berlanjut, tentunya dengan nilai penghargaan yang lebih ideal bagi para pemenangnya, maka sudah dapat dikalkulasi materi pustaka visual yang akan terkumpul dari tahun ke tahun.

1Upacara Ritual Ilau di Solok
   

Kegiatan pelestarian serupa ini perlu dilakukan dengan sebuah kesungguhan idealisme, karena apabila hanya mengejar proyek kegiatan budaya saja, maka pada akhirnya sudah dapat kita duga dan disayangkan materi visual kearifan lokal ini akan tersia-siakan.
Selain kegiatan dari Dinas Pariwisata Daerah, ada sebuah lembaga pelestarian sejarah dan budaya Minangkabau, yang juga melaksanakan kegiatan yang sama. Perbedaannya adalah Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Padang, memfokuskan perhatiannya pada peserta remaja tingkat sekolah menengah (SLTA). Meski lembaga ini memfokuskan pada peserta amatir, akan tetapi pada aspek lain, ini merupakan langkah revitalisasi bagi remaja sebagai generasi muda belia untuk memahami akar budayanya, dengan menggunakan media audiovisual.
Tentunya kegiatan festival film, baik film fiksi maupun film dokumenter, perlu dibarengi dengan pendidikan mengenai produksi film. Apakah bentuk pendidikan singkat seperti lokakarya, maupun yang agak menengah seperti kursus. Tentunya ini perlu dilakukan untuk membantu serta menyemangati para sineas muda SUMBAR untuk lebih berkembang penggarapan karya filmnya. Karena dengan berkembangnya tehnik produksi dan garapannya, maka festivalnya pun akan ikut menikmati kemajuan tersebut dengan mampu menampilkan kreasi atau produksi film dokumenter yang lebih berkualitas. Maka dapat diyakini bahwa dampak positif bagi kelanjutan kegiatan festival semacm ini atau kegiatan produksi akan lebih positif bagi kearifan lokal dan generasi baru didaerah.
Pada hakikatnya kegiatan festival film dokumenter maupun lokakarya produksi film, di daerah Sumatra Barat, merupakan suatu kegiatan yang sangat bermanfaat bagi eksistensi seni tradisi sebagai filter untuk mengantisipasi serangan media global, yang terwakili melalui film-film import. Kemudian yang lebih tajam pengaruhnya adalah media televisi swasta komersil. Media massa ini tidak lagi memberikan atau memiliki ketulusan ideologi kearifan lokal dalam menyajikan programnya, karena motivasinya hanya mencari keuntungan sebesarnya dengan menjual program sesederhana mungkin dengan tingkat sensasi yang tinggi, agar produk dagangnya laku keras dipasaran publik pemirsanya.
Dengan adanya kegiatan produksi dan festival dokumenter budaya di daerah, seperti yang dilaksanakan dibeberapa daerah, maka secara tak langsung menjadi filter bagi serangan global budaya populer yang melatari komersialisasi televisi. Masyarakat pemirsa kita tak bisa berharap banyak pada kebijakan pemerintah dan lembaganya yang menaungi keliaran program televisi swasta. Ini merupakan sebab akibat dari pada sistim kepemilikan televisi swasta di Indonesia, dimana sebagian besar pemilik modal merangkap menjadi penguasa, sehingga etika jurnalistik serta objektivitas penyajian program atau mata acaranya, tidak lagi mementingkan kepentingan publik pemirsanya, akan tetapi lebih berorientasi pada keuntungan bisnis dan tujuan politiknya.

Gerzon Ayawaila
Sineas Dokumeter

Tidak ada komentar:

Posting Komentar