Dokumenter merupakan bentuk
film yang merepresentasikan sebuah realita, dengan melakukan perekaman gambar
sesuai apa adanya. Adegan peristiwa yang sifatnya alamiah atau spontanitas akan selalu
berubah serta cukup sulit diatur, sehingga perlu konsentrasi pada tingkat kesulitan yang
dihadapi, sekaligus dengan pemikiran yang kreatif.
Sineas dokumenter ketika mengawali
kerjanya itu sudah harus memiliki ide dan konsep jelas, mengenai apa yang akan
disampaikan dan bagaimana menyampaikannya secara logis serta mampu memukau
penonton, berdasarkan aspek-aspek dramatik yang mampu direpresentasikannya.
Dokumenter bukan Reportase
Dokumenter bukan Dokumentasi
Sineas
dokumenter bukan reporter tetapi seorang observator, apabila apa yang terlihat
dipermukaan bagi reporter sudah memadai, sedangkan bagi sineas dokumenter
justru baru bagian awal. Pembuat dokumenter perlu mengeksplorasi lebih dalam
lagi apa yang ada dibalik maupun sebab akibat dari peristiwa serta pengalaman
dan latar belakang para pelaku peristiwa (subjek) tersebut.
Fakta apa yang harus diketahui
penonton untuk mengikuti dan memahami film anda?. Kalimat ini merupakan pijakan
sutradara untuk merancang konsep penuturan bagi filmnya. Sineas
dokumenter harus
memiliki sudut pandang dan pengamatan kuat terhadap objek dan subjeknya,
sehingga penafsiran atau interpretasi sutradara tidak merubah konstruksi dan kronologi fakta yang ada. Interpretasi
sutradara dapat memenggal-menggal kenyataan yang ada, maka menggunakan tehnik direct
sound dapat menjaga dan memagari kesinambungan kenyataan tersebut.
Interpretasi terhadap sebuah adegan kisah realita tidak sebebas seperti pada
adegan cerita fiksi. Apabila seorang sutradara dokumenter salah atau keliru menginterpretasikan suatu
adegan dari peristiwa nyata,
itu berarti memanipulasi kenyataan serta mengelabui kepercayaan penontonnya.
Tujuan membuat film dokumenter untuk mengelabui atau memanipulasi realita, itu
dapat ditemui pada film dokumenter bertujuan propaganda politik.
Untuk memberikan
sentuhan estetika pada filmnya, ada empat topik utama yang menjadi konsentrasi
sutradara, yaitu mengenai pendekatan,
gaya, bentuk dan struktur. Ini
merupakan teori dasar yang dijadikan bahan ramuan bagi sutradara untuk
menggarap filmnya dengan baik. Belakangan ini terlihat beberapa dokumentaris
pemula mulai menggarap film mereka tanpa memperdulikan teori dasar film yang
dapat memberikan sentuhan estetika dramatik pada karya mereka. Hal ini didasari
suatu keinginan secara instan membuat sebuah film dokumenter, disertai
argumentasi bahwa isi adalah yang utama sedangkan estetika adalah masalah
berikutnya. Akibatnya pemahaman terhadap perbedaan antara bentuk film berita
dengan film dokumenter menjadi rancu.
PENDEKATAN
Ada dua hal yang
menjadi titik tolak pendekatan dalam dokumenter, yaitu apakah penuturan di
ketengahkan secara essai atau naratif. Keduanya memiliki ciri khas
yang spesifik dan menuntut daya kreatif kuat dari sutradara. Pendekatan essai
dapat dengan luas mencakup seluruh peristiwa, yang dapat diketengahkan secara
kronologis atau tematis. Menahan perhatian penonton untuk tetap menyaksikan
sebuah pemaparan essay selama mungkin itu cukup berat, karena umumnya penonton
lebih suka menikmati sebuah pemaparan naratif. Sebagai contoh, bila kita
mengetengahkan selama 30 menit tentang peristiwa peledakan bom di Kuta Bali
secara essai, mungkin ini masih cukup menarik. Akan tetapi bila durasi di
perpanjang menjadi 60 menit maka ini cukup sulit untuk menahan perhatian
penonton. Dengan demikian kita perlu menampilkan tentang sosok profil dan
kehidupan si pelaku kebiadaban itu, serta dampak penderitaan yang menimpa para
korbannya, sekaligus untuk memperkuat aspek human interest.
Pendekatan naratif
mungkin dapat dilakukan dengan konstruksi konvensional tiga babak penuturan.
Sebagai contoh: pada bagian awal untuk merangsang keingintahuan penonton, diketengahkan
tentang bagaimana peristiwa itu terjadi yang memakan korban ratusan jiwa tak
berdosa. Pada bagian tengah di kisahkan bagaimana profil para teroris serta
latar belakang kehidupannya dan motivasi kebiadabannya itu, sebagai proses
menuju tindakan peledakan bom. Di bagian akhir mungkin dapat di paparkan
mengenai bagaimana dampak yang di terima para korban ledakan bom sebagai suatu
klimaks yang dramatik, ditambah sejumlah pesan kemanusiaan mengenai terorisme
dan kekerasan yang sedang mewabah di Indonesia.
Menurut saya tak ada salahnya bila
menggunakan kombinasi dari kedua pendekatan ini, dengan catatan harus sesuai
dengan bentuk penuturan serta isi tema yang akan disampaikan. Sehingga dinamika
kreatifitas dapat dituangkan sepenuhnya untuk dapat menuntun penonton agar
tetap memperhatikan isi film.
Umumnya setiap isi
penuturan dalam film memerlukan pembingkaian
(framing) dan sudut
pandang (point of view), untuk menerangkan dari sisi mana dan siapa yang
bertutur dalam film tersebut. Oleh karena itu diperlukan adanya semacam karakter atau tokoh yang akan
menuturkan isi dan pesan dari film, di dalam film dokumenter biasa di
istilahkan dengan benang merah penuturan (karakter yang mengikat keseluruhan
cerita). Karakter tersebut dapat menjadi semacam identitas yang dapat
membangun rangsangan emosi.
Karakter memberikan sebuah observasi terhadap
pola berpikir maupun tindakan aksi subjek sebagai reaksi kepada suatu sebab
akibat. Apabila film anda memiliki subjek maka sudut pandang subjek tersebut
yang dijadikan kunci aksi didalam bertutur. Selain itu karakter dapat pula
diposisikan sebagai yang bercerita mengenai tokoh atau subjek itu sendiri,
dengan menempatkannya secara in-frame (berinteraksi langsung dengan subjek) atau out-frame (melalui narasi/voice-over).
GAYA
Membicarakan masalah
gaya dalam film dokumenter merupakan suatu pembicaraan yang tak ada habisnya,
karena gaya terus menerus berkembang sesuai kreatifitas sang dokumenteris. Gaya
dalam dokumenter terdiri dari bermacam-macam kreatifitas, seperti gaya humoris,
puitis, satir, anekdot, serius, semi serius dan sterusnya. Kemudian dalam gaya
ada tipe pemaparan eksposisi (Expository documentary) yang konvensional,
umumnya merupakan tipe format dokumenter televisi dengan menggunakan narator
sebagai penutur tunggal. Oleh karena itu narasi disini disebut sebagai Voice
of God karena aspek subjektifitas dari narasi/narator, anda bisa
lihat contoh kemasan dokumenter pada
tayangan Discovery chanel dan National
Geographic.
Dipihak lain adapula
tipe observasi (Observational documentary) yang hampir tidak menggunakan
narator, akan tetapi berkonsentrasi pada dialog antar subjek-subjeknya. Pada
tipe ini sutradara menempatkan posisinya sebagai observator. Frederik Wisseman
dalam “High School I & II” melalui kamera dia hanya mengamati semua
kejadian yang terjadi setiap hari di sebuah sekolah menengah umum di
Philadelphia, Amerika Serikat. Wiseman berusaha mengetengahkan konflik yang
terjadi antara sesama murid, guru dengan murid, hingga antara murid, guru, dan
orang tua murid. Akan tetapi konflik yang ditampilkan tak mampu memberikan
aspek dramatik, sehingga alur penuturan terasa datar. Konsep Wisseman terlihat
sederhana yaitu hanya merekam kejadian sehari-hari yang ada di sekolah itu,
filmya itu dianggap mampu menerapkan
metode cinema
verite, dan menjadi materi bahasan dihampir setiap literatur
dokumenter, meskipun butuh kesabaran untuk menikmati film yang terasa monoton
itu.
Adapula sutradara
yang berperan aktif dalam filmnya, dimana komunikasi sutradara dengan subjeknya
ditampilkan dalam gambar (in frame), dengan tujuan memperlihatkan
adanya interaksi langsung antara sutradara dengan subjek, ini merupakan gaya
Interaktif (Interactive documentary). Apabila ada wawancara maka tipe
ini tidak sekedar memperlihatkan adegan wawancara tetapi sekaligus
memperlihatkan bagaimana wawancara itu dilakukan. Disini sutradara memposisikan
diri bukan sebagai observator tetapi justru sebagai partisipan. Gaya ini dapat
di lihat pada karya Michael Moore dalam “Bowling
for Columbine” (2002) dan “Fahrenheit
9/11” (2003), dimana sutradara menjadi benang merah di dalam menuntun alur
penuturan dalam
film tersebut.
Gaya yang kini sangat
jarang ditemui adalah gaya dimana film tersebut merupakan sebuah refleksi (Reflexive
documentary) dari proses pembuatan (shooting) film tersebut.
Dokumentaris Rusia Dziga Vertov merupakan pelopor dalam gaya ini. Dengan
filmnya yang berjudul “Man with the movie camera” (1928), Vertov hanya
bertujuan merefleksikan dua prinsip teorinya mengenai apa itu film kebenaran (Kino
Pravda=Film Truth), dimana semua adegan harus sesuai apa adanya. Kemudian
dia menekankan bahwa kamera sebagai mata
film (film eye) merekam realita tiap adegan yang di susun kembali berdasarkan pecahan shot yang dibuat. Gaya
refleksi lebih jauh daripada interkatif karena, fokus utama adalah menuturkan
proses pembuatan shooting film ketimbang menampilkan keberadaan subjek (karakter) dalam film.
Gaya yang sudah
mendekati film fiksi adalah gaya pervormatif (Performative documentary)
karena disini yang lebih diperhatikan adalah kemasannya yang harus semenarik
mungkin. Bila umumnya dokumenter tidak mementingkan alur penuturan (plot)
pada gaya ini justru
diperhatikan. Sebagian mengkategorikannya sebagai film semi-dokumenter.
Dokumentaris Errol Morris dalam filmnya “The Thin Blue Line” (1988)
merepresentasikan sebuah peristiwa pembunuhan terhadap seorang polisi bernama
Robert Wood di Dallas, Amerika Serikat pada tahun 1976. Kasus ini menjadi
kontrovesial karena yang dituduh dan dihukum adalah seorang tuna wisma Randall
Adams, sedangkan saksi kunci mengatakan pembunuhnya adalah orang lain. Isi
cerita didasarkan hanya pada sebuah testimoni serta daya ingat dari para saksi
mata. Sehingga bentuk penuturan menjadi seperti sebuah investigasi terhadap
kebenaran kasus pembunuhan yang hingga kini tetap gelap. Gaya Morris cukup
genit dengan menggunakan tipe shot yang variatif seperti pada film fiksi, hal
ini dapat terjadi karena isi cerita dapat direkonstruksi ke dalam naskah (shooting
script) sehingga perekaman gambar dapat dilakukan seperti membuat film
fiksi, hal ini dapat dilakukan pada
dokumenter dengan bentuk penuturan investigasi.
BENTUK
Pada hakikatnya
bentuk penuturan pun masih termasuk di dalam bingkai gaya, hanya saja lebih
spesifik. Pada prinsipnya setelah mendapatkan hasil riset, kita sudah dapat
menggambarkan secara kasar bentuk penuturan apa yang akan kita pakai. Dengan
menentukan sejak awal bentuk apa yang akan dikemas, maka selanjutnya baik itu
pendekatan, gaya, struktur akan mengikuti ide dari bentuk tersebut. Misalnya
bila kita menginginkan bentuk penuturan laporan perjalanan, maka pendekatan,
gaya dan strukturnya dapat di rancang bangun, sehingga baik aspek informatif,
edukatif maupun hiburan dapat menyatu sehingga memikat perhatian penonton.
Bentuk tidak harus
berdiri sendiri secara baku, karena sebuah tema dapat saja merupakan gabungan
dari dua bentuk penuturan. Misalnya bentuk penuturan potret dapat saja
digabungkan dengan nostalgia atau perbandingan, atau bentuk nostalgia dengan isi
penuturan yang mengetengahkan sebuah kontradiksi dari subjek. Sebuah kisah
tentang nostalgia dari seorang wartawan perang Inggris yang kembali ke
Afganistan setelah selang beberapa tahun, akan memberikan gambaran perbedaan
atau kontradiksi mengenai kondisi masa lampau dan masa kini. Perlu disadari
bahwa bentuk memang perlu tetapi bukan berarti
membatasi kreatifitas anda, justru sebaliknya harus memperkaya daya
kreativitas dengan kemampuan interpretasi visi visual yang mampu mengetengahkan
sebuah peristiwa kehidupan secara apa adanya dengan kemasan yang memikat.
STRUKTUR
Apa yang dimaksud
dengan struktur disini adalah rancangan konstruksi untuk menyusun/menyatukan berbagai
unsur film sesuai dengan apa yang menjadi ide dari penulis atau sutradara berdasarkan tema. Teori film dasar pada penulisan naskah
terdiri dari rancang bangun cerita yang memiliki tiga tahapan dasar yang baku
seperti: bagian awal cerita (pengenalan/introduksi), bagian tengah
cerita (proses krisis&konflik) hingga bagian akhir cerita (klimaks/anti
klimaks). Ketiga
bagian ini merupakan rangkuman dari susunan shot yang membentuk adegan (scene)
hingga sekwens (sequence). Akan tetapi perlu diketahui bahwa pemahaman
mengenai struktur film tidak sesederhana seperti yang dikemukakan disini.
Struktur film memiliki makna estetika, psikologis dan bahasa sinematografi yang
lebih luas lagi.
Menentukan struktur
bagi dokumenter tidak semudah pada film cerita fiksi, terutama bila sutradara
belum menentukan pendekatan apa yang akan dilakukan berkaitan dengan ide dan
tema. Harus diakui bahwa struktur lebih dipentingkan oleh film fiksi dari pada
film dokumenter, akan tetapi seni tanpa struktur akan mengalami kekeringan
estetika. Penulis mengakui pula bahwa struktur yang merupakan tulang punggung
penuturan oleh kebanyakan sutradara dokumenter kadang tidak begitu di
perdulikan. Struktur penuturan dalam dokumenter dapat di bagi kedalam dua cara
umum yaitu, secara kronologis dan tematis. Kedua cara ini sekaligus pula
merupakan refleksi dari pendekatan esai dan naratif tadi. Struktur kronologis
lebih mudah merancangnya dibanding tematis. Kelebihan struktur tematis ialah
kemampuannya merangkum penggalan-penggalan sekwens (sequence) yang
kadang tidak berkesinambungan, tetapi dapat di rangkai menjadi suatu kesatuan
sebab isi dan tema menjadi bingkai cerita.
SINEAS
DOKUMENTER
Seorang
sineas dokumenter (dokumentaris)
perlu banyak membaca, banyak
mengamati lingkungannya, berkomunikasi dengan semua lapisan masyarakat,
berdiskusi dengan kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki aktivitas sosial
dan budaya. Seorang dokumentaris adalah seorang pelahap semua bahan bacaan dan
rajin membuat kliping tulisan atau berita dari semua media cetak. Karena setiap
hari bahkan setiap jam, ada saja peristiwa yang terjadi dan merupakan suatu
pengalaman hidup manusia yang mungkin saja menarik untuk di jadikan tema bagi
sebuah produksi dokumenter.
Secara khusus sineas dokumenter adalah
individu yang harus kreatif. Menguasai teori film dan sinematografi saja
tidak cukup, karena disamping itu harus memiliki pengetahuan umum luas
dari berbagai disiplin ilmu lainnya. Kemampuan intelektual (akademis) sangat diperlukan karena membuat dokumenter bertujuan merepresentasikan
kehidupan semua mahluk hidup seperti manusia, hewan, tumbuh2an,
lingkungan alam yang ada di muka
bumi ini secara menarik dan dramatik.
Sebagai sutradara
harus menguasai konsep sinematografi, yang memiliki tujuan atau motivasi ketika
merepresentasikan bahasa visual melalui media audiovisual,
sehingga tidak sekedar
kreatifitas eksperimental belaka. Minimal Sutradara harus memahami makna dan
tujuan dari metode dasar seperti:
1. Gerak
Kamera (pan, tilt, crabs, track, dollie)
2. Kesinambungan/kontinuiti (shot, scene, sequence, screen direction)
3. Memotivasi
emosi penonton
4. Cutaways
(untuk menyingkat waktu dan merubah point of view, terutama bila mengalami
kesalahan screen direction)
5. Makna shot (memahami
dampak dari tipe2 shot pada emosi penonton)
6. Lensa
(pemahaman jenis lensa dan tujuan penggunaannya)
Sutradara harus
memiliki kejelasan visi dan maksud dari apa yang akan disampaikan dalam film
tersebut, disamping yakin pada apa yang mejadi fokus dari isi penuturan serta
pesan yang hendak disampaikan. Memiliki pendekatan dan gaya (style)
dalam merepresentasikan karyanya itu. Bertanggung jawab serta tegas dalam
mengambil keputusan, akan tetapi bukan berarti harus menolak setiap pendapat
dari rekan kerjanya.
Mampu mendengarkan,
mengobservasi setiap masukan ide, mampu mengadaptasi dan menghayati karakter
atau sifat subjeknya. Kendala yang tak diduga sering muncul di lapangan, untuk
itu sutradara sebagai pemimpin kreatif harus mampu mengambil keputusan dengan
cepat dan tepat, serta siap dengan strategi antisipasinya agar tidak mengganggu
jalannya proses produksi.
Umumnya untuk mempermudah
kamerawan memahami tugasnya melakukan perekaman gambar (shooting), maka
dari skenario atau treatment disusun pecahan-pecahan adegan atau sekwens
menjadi sejumlah susunan shot disebut breakdown script/shot. Kemudian
pada saat shooting ada baiknya dibuatkan catatan visual di sebut daftar
shot (shot list) untuk memudahkan pengecekannya nanti saat memasuki
proses editing. Hal ini akan mempermudah kerja sutradara dan editor saat
menyeleksi dan mencari gambar (stock shot) yang
dibutuhkan. Pada proses pembuatan film fiksi daftar shot harus dibuat,
sedangkan pada film dokumenter ini bukan suatu keharusan akan tetapi menunjukan
sikap profesional dalam efisiensi kerja.
ADEGAN WAWANCARA
Maksud dari wawancara disini bukan
seperti wawancara antara nara sumber dengan seorang reporter berita televisi.
Sutradara dan editor di tuntut kemampuannya untuk mengemas adegan wawancara ini dengan menarik
sehingga tidak kaku seperti wawancara liputan berita. Misalnya menyusun isi dan
adegan wawancara sedemikian rupa sehingga terlihat subjek sedang menceritakan
pengalamannya.
Pada saat melakukan riset dan
pendekatan terhadap subjek, sutradara sudah harus mempelajari subjek baik
karakter, sikap berbicara serta cara menyampaikan setiap jawaban yang diajukan
kepadanya. Ada subjek yang selalu menjawab dengan sangat singkat, tetapi ada
pula yang terlalu berkepanjangan. Semua ini sudah harus dipelajari saat proses
pendekatan. Hal penting bagi sutradara adalah bagaimana agar dapat mengarahkan
subjek untuk dengan bebas berbicara, bersikap, bertindak secara wajar.
Hal yang perlu
diperhatikan sebelum melakukan wawancara ialah:
q Harus
mengetahui lebih dulu apa yang menjadi objektifitasnya.
q Apa
yang akan diangkat / diungkap dalam wawancara tersebut.
q Bagaimana
mengarahkan wawancara agar apa yang ingin diungkap
dapat terpenuhi.
Dalam hal ini bentuk atau sifat
pertanyaan harus memiliki keseimbangan dengan jawabannya. Apakah anda
mengajukan suatu pertanyaan khusus dengan tujuan mendapatkan jawaban khusus
pula, atau anda mengajukan pertanyaan bersifat umum dan jawabannya pun akan
bersifat sama. Satu hal perlu di ingat bahwa setiap pertanyaan harus terfokus
dan langsung.
Pada dasarnya dalam produksi
dokumenter anda akan melakukan wawancara dua kali, pertama saat riset/hunting
yang merupakan proses pendekatan pada subjek, kedua ketika melakukan perekaman
gambar (shooting). Pada wawancara pertama, merupakan tahap pemilihan
nara sumber, kemudian di wawancara kedua nara sumber sudah dipilih dengan
tepat. Harap di ingat betul bahwa wawancara merupakan jantung dari film
dokumenter.
LOKASI
Untuk lokasi harus diperhatikan siapa
subjek yang akan di wawancarai, berkaitan dengan usia, posisi dan profesinya. Dalam memilih lokasi wawancara (setting),
ada dua hal yang perlu diperhatikan:
1.
Bila
wawancara dilakukan dalam posisi duduk, memberi kemungkinan subjek yang
diwawancarai merasa lebih santai. Ini bisa dilakukan di rumahnya, tempat kerja, atau sebuah tempat yang lingkungannya
tenang. Seorang penjabat yang sudah pensiun biasanya memilih lokasi untuk
wawancara di rumahnya. Tetapi penjabat yang masih aktif bekerja, akan memilih ruang
tempat kerjanya sebagai lokasi wawancara. Dimana latar belakang saat dia
diwawancarai akan memperkuat gambaran mengenai posisi jabatannya itu.
2.
Memperhatikan
mengenai latar belakang aktivitas subjek cukup penting. Apabila dokumenter mengenai suatu penelitian,
maka lokasi penelitian akan menjadi latar belakangnya. Apabila ceritanya
mengenai suatu musibah maka akan lebih baik lokasi kejadian dijadikan latar
belakang, daripada di rumah atau memakai latar belakang lain seperti di sebuah
taman yang memberikan gambaran
ketenangan.
Untuk
membantu menentukan lokasi wawancara, ada 3 hal yang harus di jawab:
- Apakah
latar belakang ini, mampu menggugah perasaan (mood) dan memiliki
aspek dramatik ?.
- Apakah latar belakang ini menyebabkan orang
yang akan anda wawancarai tidak santai, atau agak gugup, karena banyaknya
orang yang lalu lalang disekitar situ. Lingkungan gaduh, dapat mengganggu
suasana wawancara ?.
- Apakah
kesan yang terekam dari latar belakang tersebut tidak terlalu menonjol,
sehingga dapat mengalihkan perhatian penonton dari apa yang ingin
disampaikan dalam wawancara tersebut ?.
Ke tiga hal diatas perlu diperhatikan
sebagai hal yang mendasar, agar keseluruhan imago dan informasi cerita tidak
terganggu. Pada umumnya melakukan wawancara di udara terbuka (exterior) akan lebih praktis, karena
tidak terlalu repot dengan penataan cahaya. Tetapi ada kemungkinan mendapat
gangguan suara (noise) dari lingkungan di sekitar saat melakukan
perekaman suara. Perlu di ingat bahwa tidak selalu suara atmosfir lingkungan
itu menggangu, kadang justru dibutuhkan untuk memberi nuansa adanya suatu
kehidupan nyata di sekitar posisi subjek. Di pihak lain bila penonton mendengar
suara noise atmosfir, ini merangsang rasa ingin mengetahui dari mana suara
atmosfir itu bersumber, sehingga anda terpaksa perlu memperlihatkan gambar
mengenai kondisi dan posisi setting secara menyeluruh, agar penonton
tidak penasaran atau kecewa.
Ada pula wawancara dilakukan pada saat
subjek sedang melakukan kegiatannya (in action). Tehnik ini memerlukan
konsentrasi cukup tinggi, terutama perekam suara (sound man) harus
selalu siaga, dipihak lain penata kamera pun harus mampu mengikuti gerak
langkah subjek serta mengamati setiap sudut pengambilan yang estetis dalam
menyampaikan informasi visual. Sekarang gaya seperti ini banyak dilakukan karena
dianggap adegan wawancara menjadi lebih hidup, variatif dan dinamis, ketimbang
hanya menampilkan komposisi
gambar (shot)
wawancara yang statis.
Melakukan shot wawancara yang panjang
akan menimbulkan rasa bosan pada penonton, apabila
anda terpaksa melakukannya karena suatu alasan kuat, maka perlu melakukan
variasi sudut pengambilan (camera angle & type shot). Bila
shot panjang wawancara tak begitu beralasan maka sisipkan (insert) sejumlah
shot lain yang berkaitan dengan isi wawancara. Apabila subjek yang di wawancara
memiliki gaya berbicara yang ekspresif, ini memiliki alasan untuk melakukan
shot panjang, tetapi tetap dengan sudut kamera dan tipe shot yang variatif.
KOMPOSISI ADEGAN WAWANCARA
Sutradara memperhitungkan posisi kamera
sesuai estetika komposisi dan posisi subjek yang
diwawancarai. Situasi wawancara seperti yang sudah diterangkan diatas bahwa
dapat dalam posisi diam atau posisi bergerak dan posisi duduk atau berdiri.
Kameraman dokumenter umumnya sudah terbiasa dengan situasi demikian. Bila
kondisi wawancara dalam keadaan bergerak maka perlu selalu mengatur titik ketajaman lensa
(focus) dan mengatur komposisi frame
dalam mengikuti gerak subjek. Disamping itu anda harus terus mengontrol kondisi
pencahayaan yang stabil dalam posisi yang berpindah-pindah. Meski
membutuhkan kerja ekstra, akan tetapi gaya ini sangat dinamis dan lebih menarik
untuk dilihat penonton.
Ada 3 posisi umum ketika
perekaman gambar saat wawancara :
1. Arah pandang subjek yang
diwawancarai menatap lurus/langsung ke kamera.
2. Sudut kamera tidak berhadapan
langsung, tetapi agak miring ke kiri/kanan. Sehingga menimbulkan kesan bahwa
subjek sedang berdialog dengan seseorang, yang tidak terlihat didalam layar (off screen).
3. Baik pewawancara maupun yang
diwawancarai tampak dalam layar (on
screen).
Pada posisi pertama, dimana subjek yang diwawancarai
menatap langsung ke kamera, ini akan memberi kesan wibawa dari tokoh tersebut.
Selain itu sang tokoh melakukan kontak langsung dengan penonton. Posisi ini
biasanya sangat disenangi oleh tokoh pejabat, dengan tujuan memberi kesan
wibawa, tapi juga kesan keintiman dengan masyarakatnya.
Pada posisi kedua,
dengan tidak menatap langsung ke kamera, karena posisi sudut pengambilan agak
menyamping. Ini memberi kesan wawancara tersebut dilakukan dengan santai. Unsur
wibawa agak berkurang, bahkan berkesan informal, bersahabat, kadang memiliki
unsur anekdot.
Posisi
ketiga, subjek dan pewawancara muncul di frame on screen,
biasanya dilakukan pada reportase. Dalam dokumenter kadang dilakukan pula
posisi ini, menempatkan kedua pihak didalam frame, dengan tujuan menampilkan
kesan konfrontasi.
Setiap posisi yang akan di pilih harus
memperhitungkan atau memikirkan mengenai, sejauh mana anda ingin menarik publik
untuk terlibat dalam film tersebut. Tentu saja mengenai sudut pengambilan
kamera, perlu didiskusikan dengan penata kamera yang punya hak penuh dalam hal
ini. Sedangkan sutradara harus lebih memperhatikan subjek yang akan diwawancarainya.
Misalnya ekspresi apa yang ingin di dapat dari subjek, bagaimana kondisi
pakaiannya, serta bagaimana komposisi
latar belakang yang akan di pakai ketika wawancara. Komunikasi sutradara dengan
penata kamera mengenai kesan apa ingin didapat dari subjek yang diwawancarai,
sangat membantu dalam menempatkan posisi kamera (camera angle) dengan
tepat.
ETIKA WAWANCARA
Banyak
kesalahan dilakukan para reporter televisi kita ketika melakukan wawancara baik
untuk berita, feature maupun dokumenter. Ada beberapa hal perlu diperhatikan sutradara dalam
melakukan wawancara, khususnya berkaitan dengan etika ketika meminta informasi dari subjek. Ini penting karena bisa saja
sikap anda sendiri yang menyebabkan kegagalan dalam wawancara.
q
Disaat
melakukan wawancara mata anda harus menatap pada orang yang sedang anda
wawancarai, sehingga dia merasa mendapat perhatian penuh. Harus di ingat bahwa
pewawancara adalah pihak yang meminta penjelasan/informasi. Dengan memberikan
perhatian penuh maka pihak yang di minta penjelasannya merasakan suasana
persahabatan, saling menghormati dan rasa percaya kepada orang yang
mewawancarainya.
q
Ada
baiknya memulai wawancara dengan mengajukan pertanyaan yang sifatnya mudah atau
umum. Sehingga ketika masuk pada pertanyaan khusus, suasana perasaan dan
pikiran subjek sudah mantap. Bagaimana ekspresi wajah anda ketika mengajukan
pertanyaan juga berpengaruh pada subjek, entah itu dapat memberi suasana santai
atau bahkan sebaliknya.
q
Perhatian
utama juga perlu diberikan ketika menyusun daftar pertanyaan. Meskipun kadang
pertanyaan dapat berkembang saat wawancara,
tetapi menyusunnya lebih dulu sebelum wawancara, akan berguna untuk
memantabkan benang merah dan mendapatkan informasi yang
lebih terperinci.
q
Jangan
terlalu angkuh dengan memperlihatkan kepintaran kita dalam mengajukan
pertanyaan dengan bahasa ilmiah (intelektual)
terhadap subjek. Karena selain menyebabkan subjek merasa rendah diri juga
menyebalkan bagi penonton. Setiap sikap dan materi pertanyaan harus disesuaikan dengan siapa anda
melakukan wawancara, dan gunakan bahasa verbal yang komunikatif bagi telinga
umum. Perlu di ingat, bahwa
anda sedang meminta informasi dari subjek bukan memberikan penyuluhan
q
Anda
bukan melakukan wawancara untuk sebuah liputan berita, jadi jangan menginterupsi
atau memotong saat subjek sedang memberikan jawabannya, meskipun terasa panjang
atau bertele-tele. Karena subjek akan merasa anda tidak tertarik pada
jawabannya itu. Akibatnya suasana wawancara akan menjadi kaku karena motivasi
subjek sudah berkurang, atau mungkin saja akhirnya subjek menghentikannya. Bila
memang subjek terlalu berkepanjangan dalam menjawab pertanyaan sehingga terjadi
pemborosan bahan baku, maka lakukan pemotongan wawancara dengan sikap yang
sangat simpatik.
Catatan
akhir :
Membuat
dokumenter berarti bertutur/bercerita dengan gambar berdasarkan wawasan
dan kreatifitas visi visual anda, bedakan metode reportase dengan dokumenter.
Membuat feature diawali dengan menuliskan narasi yang sebanyaknya, kemudian
gambar direkam sesuai apa yang tertulis di narasi, ini sangat bertolak belakang
dengan dokumenter, dimana gambar bercerita (bahasa visual) itu merupakan tujuan
utama, narasi hanya sebagai pelengkap/pendamping informasi bila gambar tak
mampu mengetengahkannya.
Membuat
dokumenter berbeda dengan pemikiran membuat reportase, sehingga tak akan bisa
membuat dokumenter yang baik apabila metode kerjanya sama seperti membuat
liputan berita ‘on the spot’, datang
ke lokasi langsung rekam peristiwanya (shooting).
Riset/Hunting adalah jantung dari dokumenter, tanpa riset anda hanya
bermimpi bila dapat membuat dokumenter yang bermakna dan menarik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar