Sabtu, 07 Juli 2012

DISKURSUS KAMERA DALAM DOKUMENTER



 Sinematografi sebagai metode atau tehnik, menggunakan kamera sebagai alat untuk  menggambarkan subjektivitas ide. Melalui tata bahasa visual (gramatika film) wacana dan ide diekspresikan (kisah fiksi), sedangkan dokumenter lebih menggunakan istilah direpresentasikan.
Maka dapat kita artikan bahwa fungsi kamera adalah sebagai alat, untuk mengetengahkan konsep sinematografi. Apakah sesederhana itu kesimpulan ini dapat diterima ?.
Sejak John Grierson memproklamirkan istilah dokumenter, muncul satu obsesi dari para sineas dokumenter, yaitu keabsahan dalam mengetengahkan paparan realitas dan orisinalitas peristiwa. Bertutur dengan bahasa visual (gambar) secara apa adanya, adalah tujuan.
Satu hal yang menjadi kesepakatan universal bahwa, adalah tabu bila melakukan manipulasi tipe/ukuran shot. Lensa standard adalah acuan keabsahan. Hal menarik disini adalah, mengunakan variasi posisi kamera (angle) dapat diterima sebagai bagian dari estetika sinematografi.
Ada tiga perspektif yang bisa dijelajah melalui lintasan sejarah dokumenter.
1.      Perspektif Kino Pravda melalui konsep Kino Eye/Glass
2.      Perspektif Cinema Verite dan Direct Cinema melalui konsep observasional
3.      Perpektif Posmo melalui konsep Association Pictures story
Membicarakan diskursus kamera dalam dokumenter, secara garis besar ketiga perpektif ini, dapat dijadikan acuan dialog untuk sampai pada suatu temuan kajian yang komprehensif.  Meski kita mengawali dari era Dziga Vertov dengan Kino Eye nya, tak bisa diliwatkan begitu saja peranan Robert Flaherty yang meletakan fondasi bahasa visual sinematografi melalui beberapa karyanya.  Melalui ‘Nanook of The North (1922) dan Man of Aran (1934), Flaherty mampu merepresentasikan estetika sinematografi yang memukau, meski untuk itu cap romantisme diterimanya sebagai kritik, khususnya yang dilontarkan John Grierson seorang sineas dokumenter Inggris.
           KINO EYE/GLAZ
Kembali berbicara mengenai diskursus kamera dalam dokumenter, kita awali dengan manifesto Kino Pravda dari Dziga Vertov, yang menyatakan bahwa kamera merupakan mata film, dan ‘film dokumenter bukan merepresentasikan suatu realitas objektif, melainkan suatu realitas berdasarkan apa yang terlihat dan terekam oleh kamera sebagai mata film’.
      
Mata film disebutnya dengan istilah Kino Eye/Kino Glaz. Pada karya Man with the movie camera, Vertov memberikan argumentasi dari manifestasinya itu. Beberapa pendapat mengatakan bahwa karya ini lebih merupakan sebuah film berita ketimbang film dokumenter, . dan memang karya Vertov ini merupakan cikalbakal munculnya film berita. Menurut saya sepertinya Vertov dalam filmnya itu ingin mengetengahkan bukan hanya objek dan subjeknya saja, tetapi sekaligus memperlihatkan bagaimana cara dia shooting. Vertov menyajikan bagaimana konstruksi imaji/gambar/shot melalui kamera sebagai mata film, dapat merefleksikan subjektivitas yang hendak dipaparkan pada penonton. Bill Nichols dalam bukunya Representing Reality 1991, menyatakan gaya Vertov dalam Man with the movie camera, adalah gaya Reflexive Documentary. Pendekatan gaya ini ingin merangkum semua aspek dari mulai properti/objek dan subjek, termasuk bagaimana proses perekaman gambar dilakukan.

CINEMA VERITE & DIRECT CINEMA
Diakui bahwa Kino Eye nya Dziga Vertov mampu memukau sekaligus mempengaruhi generasi baru sineas dokumenter dunia. Tentu tak lepas pula dari analisa kritis yang bertujuan mencapai obsesi yang tadi diatas telah disimpulkan. Di Perancis dan Amerika Serikat bermunculan aliran baru dengan metode observasional. Cinema Verite di Perancis dan Direct Cinema di Amerika, berusaha menerapkan prinsip baru  dalam dokumenter, untuk mencapai obsesi tersebut. Bill Nichols memasukan kelompok gerakan tahun 60’an ini dalam kategori Observational Documentary.   
Prinsip aliran ini adalah, baik sineas maupun kamera hanya berfungsi sebagai observator dalam melihat dan merekam peristiwa yang ada. Umumnya aliran ini anti menggunaan asesoris pelengkap kamera seperti trypod, dolly/crane, dan sebagainya. Posisi kamera (camera angle) tak perlu bervariasi, akan tetapi gerak kamera (camera moving) mendapat keabsahan untuk menciptakan shot yang memukau.
Karya Cinema Verite yang tetap menjadi acuan dalam literatur adalah karya Frederick Wisseman High School I 1968. Selama enam bulan Wisseman merekam semua peristiwa yang terjadi disebuah sekolah menengah umum  di Philadelphia. Kemudian tahun 1994 Wisseman kembali membuat High School II, dengan topik dan pendekatan yang sama. Karya Wisseman ini tak lepas dari kritik bahkan caci maki dari birokrat dan sebagian masyarakat Amerika. Sebuah karya kontroversial yang mengungkap apaadanya tentang sikap dan karakter siswa ketika di sekolah, yang membuat publik umum tercengang.
   
 Karya D.A Pennebaker Don’t Look Back 1967 dianggap pula sebagai sebuah karya Direct Cinema yang cukup fenomenal. Film ini mengisahkan tentang penyanyi balada Bob Dylan yang sedang melakukan tournya di Inggris tahun 1965. Dua tahun Pennebaker membutuhkan waktu untuk merampungkan karyanya ini. Dengan kamera yang dipanggul (camera handheld), Pennebaker merekam hampir semua sikap, karakter dan tingkah laku penyanyi Bob Dylan selama melakukan tour musiknya itu di Inggris.
Bila kita mengamati sejumlah film dokumenter dengan pendekatan gaya cinema verite maupun direct cinema, saya melihat bahwa gaya Pennebaker cukup berpengaruh, ketimbang yang lainnya. Hal jelas yang dapat diamati, misalnya pada type of shot yang standard, kemudian camera moving yang cukup aktif kadang progresif. dengan kamera handheld, ini merupakan cirikhas atau identitas dari komunitas ini.
   
 DOKUMENTER POST MODERN
Istilah dokumenter posmo dilontarkan oleh para penggiat kultural studi, yang mencoba menggali makna dan tanda dari perpektif semiologi maupun semiotika pada sejumlah karya film.
Dokumenter post modern (posmo) yang muncul secara fenomenal adalah karya Godfrey Reggio, ‘Powaqqatsi’1988. Bila ini kita kaji dan dikaitkan dengan tema judul diatas, maka Reggio mencoba merangkum gaya shot romantisme dari Robert Flaherty, yang dikombinasikan dengan konsep observational dari Jean Rouch, ketika awal dia mencetuskan gaya cinema verite, tahun 60’an di Perancis. Rouch yang secara tidak langsung dapat dianggap sebagai sineas yang mengembangkan bentuk etno dokumenter, ketika dia melakukan perjalanan panjang di benua Afrika (jajahan Perancis).
Reggio dengan konsep penataan fotografi yang menarik, ingin merepresentasikan tentang eksplorasi tenaga manusia di sebagian negara dunia ke III. Dalam karyanya ini Reggio ingin merepresentasikan gabungan nuansa penderitaan dengan romantisme visual. Dominannya slow motion shot difilmnya itu, merupakan interpretasi Reggio untuk menggugah emosional penonton. Terlihat sekali peranan kamera dalam beberapa karya dokumenter dengan gaya dan perspektif masing-masing, tetap berusaha mancapai obsesi yang sama, yaitu merepresentasikan orisinalitas sebuah realita.
 



Penutup:
Bila kita lihat semua perspektif yang diketengahkan diatas tadi, dapat disimpulkan bahwa diskursus kamera dalam dokumenter, tetap merangsang curah pendapat, diskusi, perdebatan,  baik dari para penggiat dokumenter maupun pengamat, termasuk juga para penikmat dokumenter. 
Relevansi manifestasi Dziga Vertov dengan kino eye/kino glaz, masih tetap tertanam, meski tak dipungkiri bahwa realisasi atau imlementasinya mendapat perubahan perspektif  konsep yang terus pula berkembang.
Observasional cinema verite dan direct cinema, masih tetap menjadi penjelajahan identitas bagi sineas dokumenter generasi baru.
Dengan munculnya dokumenter posmo, mungkin merupakan sebuah cara lain mencapai obsesi tersebut, dimana berusaha sepenuhnya bertutur dengan gambar (bahasa visual), meski kategori ini perlu dikaji kembali karena cukup sederhana untuk berkelit melalui ide eksperimental  maupun dokumenter seni.
Kesimpulan yang mungkin dapat kita cerna adalah, adanya sebuah obsesi universal bagi semua penggiat atau sineas dokumenter, justru memberikan rangsangan besar bagi perkembangan pada pendekatan, bentuk dan gaya didalam setiap garapan baru film dokumenter di dunia.


KINE FORM, JULI 2012
Gerzon.R.Ayawaila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar