Maka dapat kita
artikan bahwa fungsi kamera adalah sebagai alat, untuk mengetengahkan konsep
sinematografi. Apakah sesederhana itu kesimpulan ini dapat diterima ?.
Sejak John
Grierson memproklamirkan istilah dokumenter, muncul satu obsesi dari para
sineas dokumenter, yaitu keabsahan dalam mengetengahkan paparan realitas dan orisinalitas
peristiwa. Bertutur dengan bahasa visual (gambar) secara apa adanya, adalah
tujuan.
Satu hal yang
menjadi kesepakatan universal bahwa, adalah tabu bila melakukan manipulasi
tipe/ukuran shot. Lensa standard adalah acuan keabsahan. Hal menarik disini
adalah, mengunakan variasi posisi kamera (angle)
dapat diterima sebagai bagian dari estetika sinematografi.
Ada tiga
perspektif yang bisa dijelajah melalui lintasan sejarah dokumenter.
1. Perspektif
Kino Pravda melalui konsep Kino Eye/Glass
2. Perspektif
Cinema Verite dan Direct Cinema melalui konsep observasional
3. Perpektif
Posmo melalui konsep Association Pictures story
Membicarakan
diskursus kamera dalam dokumenter, secara garis besar ketiga perpektif ini,
dapat dijadikan acuan dialog untuk sampai pada suatu temuan kajian yang
komprehensif. Meski kita mengawali dari
era Dziga Vertov dengan Kino Eye nya, tak bisa diliwatkan begitu saja peranan
Robert Flaherty yang meletakan fondasi bahasa visual sinematografi melalui
beberapa karyanya. Melalui ‘Nanook of The North (1922) dan Man of Aran (1934), Flaherty mampu
merepresentasikan estetika sinematografi yang memukau, meski untuk itu cap
romantisme diterimanya sebagai kritik, khususnya yang dilontarkan John Grierson
seorang sineas dokumenter Inggris.
Kembali
berbicara mengenai diskursus kamera dalam dokumenter, kita awali dengan manifesto
Kino Pravda dari Dziga Vertov, yang menyatakan bahwa kamera merupakan mata
film, dan ‘film dokumenter bukan merepresentasikan suatu realitas objektif,
melainkan suatu realitas berdasarkan apa yang terlihat dan terekam oleh kamera
sebagai mata film’.
Mata film disebutnya dengan istilah Kino
Eye/Kino Glaz. Pada karya Man with the
movie camera, Vertov memberikan
argumentasi dari manifestasinya itu. Beberapa pendapat mengatakan bahwa karya
ini lebih merupakan sebuah film berita ketimbang film dokumenter, . dan memang
karya Vertov ini merupakan cikalbakal munculnya film berita. Menurut saya
sepertinya Vertov dalam filmnya itu ingin mengetengahkan bukan hanya objek dan
subjeknya saja, tetapi sekaligus memperlihatkan bagaimana cara dia shooting. Vertov
menyajikan bagaimana konstruksi imaji/gambar/shot melalui kamera sebagai mata
film, dapat merefleksikan subjektivitas yang hendak dipaparkan pada penonton.
Bill Nichols dalam bukunya Representing
Reality 1991, menyatakan gaya Vertov dalam Man with the movie camera, adalah gaya Reflexive Documentary. Pendekatan gaya ini ingin merangkum semua
aspek dari mulai properti/objek dan subjek, termasuk bagaimana proses perekaman
gambar dilakukan.
CINEMA
VERITE & DIRECT CINEMA
Diakui bahwa
Kino Eye nya Dziga Vertov mampu memukau sekaligus mempengaruhi generasi baru
sineas dokumenter dunia. Tentu tak lepas pula dari analisa kritis yang
bertujuan mencapai obsesi yang tadi diatas telah disimpulkan. Di Perancis dan
Amerika Serikat bermunculan aliran baru dengan metode observasional. Cinema
Verite di Perancis dan Direct Cinema di Amerika, berusaha menerapkan prinsip
baru dalam dokumenter, untuk mencapai
obsesi tersebut. Bill Nichols memasukan kelompok gerakan tahun 60’an ini dalam
kategori Observational Documentary.
Prinsip aliran
ini adalah, baik sineas maupun kamera hanya berfungsi sebagai observator dalam
melihat dan merekam peristiwa yang ada. Umumnya aliran ini anti menggunaan
asesoris pelengkap kamera seperti trypod, dolly/crane, dan sebagainya. Posisi
kamera (camera angle) tak perlu
bervariasi, akan tetapi gerak kamera (camera
moving) mendapat keabsahan untuk menciptakan shot yang memukau.
Karya Cinema
Verite yang tetap menjadi acuan dalam literatur adalah karya Frederick Wisseman
High School I 1968. Selama enam bulan
Wisseman merekam semua peristiwa yang terjadi disebuah sekolah menengah
umum di Philadelphia. Kemudian tahun 1994
Wisseman kembali membuat High School II,
dengan topik dan pendekatan yang sama. Karya Wisseman ini tak lepas dari kritik
bahkan caci maki dari birokrat dan sebagian masyarakat Amerika. Sebuah karya
kontroversial yang mengungkap apaadanya tentang sikap dan karakter siswa ketika
di sekolah, yang membuat publik umum tercengang.
Bila kita
mengamati sejumlah film dokumenter dengan pendekatan gaya cinema verite maupun
direct cinema, saya melihat bahwa gaya Pennebaker cukup berpengaruh, ketimbang
yang lainnya. Hal jelas yang dapat diamati, misalnya pada type of shot yang standard, kemudian camera moving yang cukup aktif kadang progresif. dengan kamera handheld, ini merupakan cirikhas atau
identitas dari komunitas ini.
Istilah
dokumenter posmo dilontarkan oleh para penggiat kultural studi, yang mencoba
menggali makna dan tanda dari perpektif semiologi maupun semiotika pada
sejumlah karya film.
Dokumenter post
modern (posmo) yang muncul secara fenomenal adalah karya Godfrey Reggio, ‘Powaqqatsi’1988. Bila ini kita kaji dan
dikaitkan dengan tema judul diatas, maka Reggio mencoba merangkum gaya shot
romantisme dari Robert Flaherty, yang dikombinasikan dengan konsep
observational dari Jean Rouch, ketika awal dia mencetuskan gaya cinema verite, tahun 60’an di Perancis.
Rouch yang secara tidak langsung dapat dianggap sebagai sineas yang
mengembangkan bentuk etno dokumenter, ketika dia melakukan perjalanan panjang
di benua Afrika (jajahan Perancis).
Reggio dengan
konsep penataan fotografi yang menarik, ingin merepresentasikan tentang
eksplorasi tenaga manusia di sebagian negara dunia ke III. Dalam karyanya ini
Reggio ingin merepresentasikan gabungan nuansa penderitaan dengan romantisme
visual. Dominannya slow motion shot
difilmnya itu, merupakan interpretasi Reggio untuk menggugah emosional
penonton. Terlihat sekali peranan kamera dalam beberapa karya dokumenter dengan
gaya dan perspektif masing-masing, tetap berusaha mancapai obsesi yang sama,
yaitu merepresentasikan orisinalitas sebuah realita.
Penutup:
Bila kita lihat
semua perspektif yang diketengahkan diatas tadi, dapat disimpulkan bahwa
diskursus kamera dalam dokumenter, tetap merangsang curah pendapat, diskusi,
perdebatan, baik dari para penggiat
dokumenter maupun pengamat, termasuk juga para penikmat dokumenter.
Relevansi
manifestasi Dziga Vertov dengan kino eye/kino glaz, masih tetap tertanam, meski
tak dipungkiri bahwa realisasi atau imlementasinya mendapat perubahan perspektif
konsep yang terus pula berkembang.
Observasional
cinema verite dan direct cinema, masih tetap menjadi penjelajahan identitas
bagi sineas dokumenter generasi baru.
Dengan munculnya
dokumenter posmo, mungkin merupakan sebuah cara lain mencapai obsesi tersebut,
dimana berusaha sepenuhnya bertutur dengan gambar (bahasa visual), meski
kategori ini perlu dikaji kembali karena cukup sederhana untuk berkelit melalui
ide eksperimental maupun dokumenter
seni.
Kesimpulan yang
mungkin dapat kita cerna adalah, adanya sebuah obsesi universal bagi semua penggiat
atau sineas dokumenter, justru memberikan rangsangan besar bagi perkembangan
pada pendekatan, bentuk dan gaya didalam setiap garapan baru film dokumenter di
dunia.
KINE
FORM, JULI 2012
Gerzon.R.Ayawaila