Rabu, 04 Mei 2011

MENULIS NASKAH DOKUMENTER




Oleh: Gerzon R Ayawaila


"Dokumenter yang bagus, harus memperlihatkan kekuatannya,
 dalam  membuat kehidupan sehari-hari menjadi dramatik,
dan masalah yang ada menjadi suatu puisi"
 kata John Grierson.  (Suer; hal.41)


Pada prinsipnya ada 4 tahapan dalam penulisan:
  1. Melakukan Riset lalu menulis transkrip hasil riset
  2. Menulis Sinopsis sebagai pencetusan ide dasar
  3. Menulis Treatment sebagai rancangan cerita
  4. Menulis Skenario setelah hasil riset diperiksa ulang. Kadang skenario di tulis saat memasuki tahap paska produksi (editing).

Sinopsis
Merupakan tulisan rangkuman yang ringkas, untuk menjelaskan isi penuturan yang akan diketengahkan secara garis besarnya saja. Sekaligus menjelaskan permasalahan yang ingin diungkap sebagai tujuan utama. Fokus dan penjelasan dalam sinopsis harus jelas, agar bila nanti meningkat penjabarannya dalam penulisan treatment, alur cerita menjadi lancar dan mudah dimengerti berdasarkan logika.

Treatment
Penulisan treatment untuk produksi dokumenter memiliki fungsi penting. Fungsi treatment tak hanya menuliskan tentang urutan adegan (scene) dan shot saja, tetapi harus ditulis secara kongrit keseluruhan isi yang berkaitan dengan judul dan tema, sehingga merupakan The Treatment of The Story.
Umumnya untuk memulai perekaman gambar (shooting), sutradara cukup mengacu pada treatment, karena selain penulisan skenario memakan waktu lama, juga dianggap dapat mengekang kebebasan kreativitas. Karena seorang sutradara dan penata kamera harus selalu siap dan peka terhadap adegan-adegan tak terduga (spontan) yang terjadi saat perekaman gambar.
Skenario baru ditulis pada saat memasuki tahap proses paska produksi untuk kebutuhan editor. Akan tetapi pada beberapa bentuk penuturan dokumenter, perekaman gambar harus mengacu pada isi skenario, seperti dokumenter sejarah, film pendidikan dan instruksional,  atau dokumenter yang merupakan film kompilasi dengan menggunakan sejumlah footage. Bentuk penuturan potret/biografi juga sering berpatokan pada scenario.
Pada dokumenter sejarah, titik perhatian diberikan pada kreatifitas editor, untuk menginterpretasikan rancangan kronologi penuturan yang sudah di susun penulis naskah beserta sutradara. Mungkin pada dokumenter yang tidak memerlukan sisipan footage film, treatment kadang dibuat secara step out-line saja. Dimana susunan adegan dan pengambilannya ditulis pada out-line.
Penulisan treatment harus di jelaskan mengenai apa yang akan diketengahkan dalam dokumenter tersebut. Penempatan narasi/komentar, khususnya pada adegan dimana visual tidak mampu, menyampaikan informasi yang dibutuhkan penonton, harus diinformasikan di dalam treatment. Apabila ada wawancara, maka dalam treatment perlu pula dijelaskan, meskipun isi wawancara tidak perlu ditulis. Selain itu sebuah treatment juga sudah memberikan alur cerita jelas, serta atmosfir bagi penataan suara yang diperlukan.
Skenario
Pada prinsipnya skenario berfungsi sebagai panutan, penentuan, pembatasan dan gambaran pra-visual. Penulisan dokumenter kadang memerlukan suatu proses panjang sebagai tahapan kerja dalam pra produksi. Penggunaan skenario kongkrit pada film fiksi mutlak diperlukan. Dokumenter juga membutuhkan skenario, tetapi kemutlakannya tak sama seperti tahapan kerja film fiksi. Fungsi serta arti Treatment dan Skenario dapat dibedakan. Treatment berfungsi memberikan gambaran mengenai apa yang akan diketengahkan, sedangkan Skenario menjadi gambaran kongkrit mengenai bagaimana film tersebut akan diketengahkan (dikemas).
Lama waktu penyusunan (transkrip) hingga penulisan naskah dokumenter umumnya tergantung dari hasil riset. Karena penulisan untuk film dokumenter baru dianggap selesai setelah informasi hasil riset diolah kembali, sekaligus melakukan cek dan recek. Kadangkala ini pun belum memberikan suatu keyakinan bahwa semua data riset yang didapat benar-benar akurat. Karena alasan ini banyak dokumentaris yang mengambil jalan pintas, yaitu bertumpu pada interpretasi pribadi saja. Konsekwensinya ialah, realita yang dipaparkan ada kemungkinan menjadi rancu, dan nilai validitasnya meragukan. Karena terlalu banyaknya interpretasi pribadi, sehingga memungkinkan kita terjebak dalam dikhotomi fakta dan fiksi.

 Struktur

Secara umum dalam menulis skenario dikenal 3 tahap struktur klasik/konvensional:
q  Bagian awal: merupakan sketsa dari isi cerita, pengenalan para tokoh, waktu kejadian dan lokasi kejadian.
q  Bagian tengah: proses adanya konflik, serta ketegangan peristiwa   
q  Bagian akhir: penutup, konklusi, klimaks atau anti klimaks, happy ending atau tidak

Dalam penulisan harus ada gambaran jelas, mengenai struktur penuturan, hubungan antara satu aksi dengan aksi lainnya dalam sebuah peristiwa. Setiap pergantian aksi harus diperhatikan ritme penuturannya, serta aspek dramatik sebagai pembangkit emosi dalam lingkup pemaparan fakta. Dokumenter menolak terlalu banyak interpretasi yang merupakan hasil kreativitas imajinatif. Perlu di ingat bahwa dokumenter kurang mementingkan gaya tetapi lebih konsentrasi pada isi.

Secara umum ada tiga bentuk struktur dalam dokumenter:

Secara Kronologis, dimana diceritakan bagaimana awal serta kelanjutan dari peristiwa. Pada struktur kronologis, waktu menentukan konstruksinya atau konstruksi alur kisah bergantung pada waktu. Misalnya jika menggunakan gaya bertutur 'buku harian', dilakukan tehnik kilas balik, maka susunan adegan akan mengikuti perjalanan waktu. Disini struktur kronologis mau tak mau akan terputus, tetapi susunan adegan akan terjaga karena diatur oleh waktu.
Secara Tematis, cerita dibagi dalam beberapa kelompok tema, dimana sebab dan akibat digabungkan dalam tiap sequence. Dalam satu adegan penulis bisa membangun serta menggabungkan sebab dan akibatnya. Hasil gabungan sebab dan akibat dari suatu fakta, yang terdiri dari beberapa adegan itu, lalu disusun kedalam satu sequence.
Secara Dialektik, konstruksi ini lebih memiliki kekuatan dramatik, karena menyuguhkan suatu tanda tanya yang langsung diberi jawabannya. Apabila ada aksi, maka langsung diikuti dengan reaksi. Didalam struktur dialektik terdapat variasi menarik pada cara bertutur yang kontras. Dalam peristiwa yang terjadi pada waktu bersamaan, penulis dapat menempatkannya kedalam sebuah kontradiksi.

Peraturan mengenai panjang pendeknya suatu adegan, tempo dan dinamika irama tidak ada, karena ini persoalan artistik yang berkaitan dengan konsep estetika dan kreatifitas individu. Sudah pasti semua ini dipengaruhi oleh latar belakang budaya. Hal yang perlu diperhatikan ialah jangan sampai terjadi alur cerita diantara dua adegan menjadi statis. Oleh karena itu perlu ditarik garis paralel yang berbeda-beda dalam alur ceritanya. Untuk menjaga agar penonton tidak merasa bosan menantikan klimaks cerita, maka 5 hingga 10 menit menjelang akhir cerita, umumnya disuguhkan adegan-adegan dramatik atau tampilkan adegan-adegan utama dari isi cerita. 

Realita pada karya dokumenter harus selalu memiliki konteks, karena konteks merupakan arti dari fakta yang disuguhkan dari suatu peristiwa, disamping itu konteks merupakan hal utama dalam sebuah skenario.

Tokoh dan Nara Sumber
Didalam merancang atau menyusun isi cerita, peranan antara tokoh dan nara sumber perlu dijelaskan. Tokoh pemeran utama didalam film dokumenter memiliki peranan fungsional untuk mengetengahkan realita suatu peristiwa, dengan tujuan mengembangkan unsur dramatik didalam konflik. Sedangkan nara sumber dapat sebagai sumber informasi saja, atau dapat pula sebagai pemeran pembantu.
F Dengan mengacu pada hasil riset, penulis/sutradara dapat menganalisa, apakah pemilihan subjek sudah tepat sebagai pemeran atau sebagai nara sumber ?.
F Apakah peranan tokoh ini sebagai informan cukup penting, serta mampu mengekspresikan tema tersebut dan memberikan unsur dramatik?.
F Apabila peran subjek hanya sebagai nara sumber, maka menampilkannya cukup liwat komentar atau narasi saja (off screen) dilengkapi dengan ilustrasi gambar.
F Apabila mengenai suatu aksi, penulis harus menganalisa apakah aksi dari tokoh tersebut perlu ditampilkan dalam cerita atau tidak ?.
Pertanyaan-pertanyaan macam ini perlu dikaji dan di seleksi, untuk mendapatkan subjek yang betul-betul tepat sesuai dengan tema.
Membuat film dokumenter mengenai subjek yang sudah meninggal cukup menyulitkan, maka untuk mengisi sugesti dari ketidak hadiran sang tokoh, ditampilkan hal-hal yang berhubungan erat dengan kehidupan si tokoh. Misalnya menampilkan nara sumber sebagai saksi hidup dari peranan si tokoh didalam peristiwa itu. Atau dapat pula menampilkan benda-benda atau materi yang merupakan simbol dari figur si tokoh utama. Pendekatan ini dapat memberikan perincian kongkrit, sebagai sketsa dari ketidak hadiran sang tokoh tersebut.
Pada teori film dikatakan bahwa penonton akan mengidentifikasikan dirinya dengan salah satu tokoh dalam cerita film. Hal ini dilakukan karena adanya simpati atau semacam pengenalan diri (identitas) dari si penonton itu sendiri, dimana sikap ini dilakukan tanpa sadar. Beranjak dari teori ini, tak ada salahnya menggunakan metode tersebut untuk memilih tokoh-tokoh serta membangun karakter yang akan dimunculkan pada film dokumenter.
Semua prinsip struktur dalam metode penulisan skenario tidak perlu dijadikan suatu peraturan baku, tetapi dapat digunakan sebagai alat bantu yang fungsional. Setiap struktur dramatik dari cerita, baik untuk skenario fiksi maupun non fiksi, memiliki logika dan kekuatannya sendiri-sendiri.

skenario cerita fiksi, adalah ungkapan obsesi pribadi, sedangkan
skenario dokumenter, merupakan ungkapan obsesi orang lain.

Untuk bentuk film edukasi atau instruksional dokumenter, sebelumya perlu memikirkan kelompok sasarannya. Misalkan membuat tema mengenai penyakit kangker, bila sasarannya untuk umum maka cukup menjelaskan penyebabnya, gejalanya, serta akibatnya secara umum pula. Karena penonton harus mampu menangkap dan mengerti secara mudah apa yang disuguhkan, dimana realita tersebut dapat dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-harinya. Tetapi apabila sasarannya pada kelompok khusus, seperti mahasiswa kedokteran, perawat, petugas penyuluhan kesehatan. Maka pembuat dokumenter perlu mengetahui terminologi medis yang berhubungan dengan suatu penyakit, disamping menggunakan pakar sebagai penasihat ahli.
Dari hasil riset penulis dapat mengetahui bagaimana struktur penuturan yang akan disusunnya. Penulis juga mengetahui gambaran apa yang dapat divisualisasikan, dan kemungkinan-kemungkinannya. Apabila harus menggunakan materi visual (footage), harus diteliti lebih dahulu apakah masih layak pakai atau tidak. Materi visual yang bisa didapatkan, merupakan faktor penting atau faktor kemudi bagi penulisan dokumenter.
Sering pula terjadi informasi yang terkumpul dari riset terlalu banyak, sehingga penulis kesulitan untuk menyeleksi informasi mana yang tepat untuk tema. Hal utama yang menjadi titik tolak seleksi informasi ialah, penulis dapat mengawalinya dengan mengamati hal utama dari peristiwa, sehingga mampu melukiskan konflik-konflik yang ingin diungkapkannya. Kemudian setelah itu penulis dapat menganalisanya lebih jauh, untuk mengkongkritkan akurasi informasi yang ada, serta yang masih dibutuhkan. Suatu hal yang menjadi kenyataan bahwa tidak ada penulisan skenario yang perfekt.


4 komentar:

  1. makasi bang atas infonya... sungguh bermanfaat

    BalasHapus
  2. ini yg aku cari... makasi ya bang atas infonya...

    BalasHapus
  3. ada perbedaan cara penulisan naskah dari penuturan tematis dan kronologis gak?
    kalau ada contoh dokumenternya mohon linknya.
    makasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. secara prinsip tidak ada, yang membedakannya hanya pada alur cerita, atau ketika menulis editing scriptnya
      Tengkiu

      Hapus