Selasa, 19 Januari 2010

SEMI-DOKUMENTER BUKAN DOKUMENTER ?

Abstraksi
Membaca judul diatas sepertinya terlalu berani mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa semi-dokumenter bukan dokumenter. Apa dasar atau argumentasinya untuk menyatakan bahwa dokumenter adalah dokumenter, tanpa menambahkan embel-embel ‘semi‘. Sebagian berpendapat bahwa apabila dokumenter ditambahi dengan kata ‘semi’, maka aspek validitas, orisinalitas atau autentisitas dari peristiwa yang direkam bisa menjadi kabur. Argumentasinya adalah film dokumenter yang ditambahi dengan kata ‘semi’, biasanya bertujuan propaganda, baik dengan tujuan positif maupun negatif. Kemurnian dokumenter ketika ditambahi dengan kata ‘semi’ maka makna kata ini seakan memberi sebuah ruang tambahan yang abu-abu, dimana dengan leluasa ruang abu-abu ini dapat direkayasan atau manipulasi dengan memberi ilustrasi pada konteks, yang batasannya samar bagi penilaian normatif.
Apakah hal ini masih perlu diperdebatkan atau dipermasalahkan ?.

Tulisan ini mencoba melihat, sejauh apa semi-dokumenter dapat dinyatakan sebagai bukan dokumenter, apakah pertanyaan ini merupakan suatu kemunduran, stagnasi atau justru mengetengahkan wacana baru untuk mengkaji hakikat dokumenter sebagai dokumenter ?. Analisa ini bukan bertujuan mencapai kesimpulan untuk menentukan benar dan salah, akan tetapi lebih pada usaha menemukan titik temu istilah kata yang minimal mampu memberikan kejernihan makna, baik berdasarkan pemahaman teoritis maupun empiris.
Pemahaman kata ‘semi’ secara harafiah berarti setengah atau tidak sepenuhnya, sedangkan istilah ‘semi-dokumenter’, hingga kini masih belum menemukan titik devinisi mantap, baik dalam berbagai literatur maupun diskusi. Mungkin justru masalah ini dapat menambah semaraknya perkembangan bentuk, gaya hingga istilah bagi dokumenter. Media televisi dengan perkembangan variasi menu program yang sepenuhnya demi usaha komersial, telah berperan cukup menonjol mempromokan perbendaharaan istilah yang disadap dari pohon dokumenter murni. Tak dipungkiri bahwa semaraknya istilah bagi gaya dan bentuk dokumenter televisi, membawa dampak positif sekaligus negatif. Setiap pengamat, jurnalis, kritikus bahkan sineas nya sendiri, memproklamirkan istilah mereka masing-masing sesuai kebutuhan promosinya. Tentunya bukan hal yang berlebihan apabila perlu dicermati istilah dan devinisi yang ada, agar tidak terjerat atau tenggelam dalam kubangan air keruh, sehingga sulit menemukan kejernihan logikanya.
Sejumlah istilah yang berkaitan dengan dokumenter sangat cepat bermunculan, beragam istilah ini dimunculkan oleh para pengamat, kritikus film hingga jurnalis, ketika mereka mengamati serta menilai program non-fiksi di media televisi maupun film dokumenter yang muncul diajang berbagai festival dunia. Misalnya muncul berbagai genre atau istilah faux-documentary, pseudo-documentary, rocumentary (rock-documentary), mocumentary’(mock-documentary) , dan tentu saja masih ada lagi sejumlah istilah lainnya, sebagian merupakan istilah yang khusus untuk dokumenter televisi yang mungkin juga sekaligus membantu media televisi dalam mempromosikan program-program non-fiksi yang akan ditayangkan. Dokumenter untuk televisi diawali saat mengalami masa-masa keemasan pada tahun 1951 hingga tahun 1971. Mulai tahun 1946 BBC telah mulai mengumpulkan film dokumenter untuk digandakan ke format video. Dokumenter seri televisi mulai diproduksi dan ditayangkan oleh BBC tahun 1952 dengan judul “Special Inquiry”, sebuah dokumenter seri televisi yang cukup panjang ditayangkan hingga tahun 1957.
Mengamati kembali sejumlah produksi film dokumenter pada era dimana dunia dipenuhi oleh adegan angkara murka mengadu kekuasaan politk dalam kancah perang dunia pertama, kemudian dilanjutkan dalam perang dunia kedua. Pada masa-masa ini dokumenter secara tak langsung memiliki peranan penting dalam setiap strategi politik perang, khususnya di dalam strategi propaganda politik, yang keampuhannya bisa melebihi senjata pembunuh manapun juga. Akan tetapi ironisnya pada masa-masa ini pula hakikat dokumenter telah dimerosotkan hingga titik nalar terendah. Mungkin pula istilah ‘semi-dokumenter’ Baru kemudian di tahun 60an para sineas dokumenter Perancis, Belanda dan beberapa dari Amerika, mulai memperbaiki citra dokumenter dengan mengetengahkan pendekatan dan gaya kemasan baru yang tujuannya adalah berusaha mengetengahkan suatu kisah peristiwa secara apa adanya. Tahun 60an membuka era baru bagi garapan dokumenter, kita kenal aliran Cinema Verite dan Direct Cinema, dimana kedua aliran ini secara umum dikategorikan sebagai observational documentary.
Dunia mengakui dan sepakat bahwa media film (audiovisual) memiliki kemampuan mempengaruhi dan membentuk opini publik baik secara psikologi maupun ideologi. Disini peran sekaligus garapan dokumenter dapat diteliti, apakah memang berada pada koridornya atau sudah mengalami rekayasa sesuai tujuan politik pembuatnya.
Untuk mengkaji tentang semi-dokumenter, perlu menentukan pijakan teori untuk bisa sampai pada analisa untuk mendapat suatu kesimpulan. Ini pun bukan hal mudah, misalnya bila mengacu pada pernyataan John Grierson dari mulai bahwa dokumentar adalah sebuah ‘laporan aktual yang kreatif’ (the creative treatment of actuality), hingga ‘laporan realita yang kreatif’ (the creative treatment of reality). Meski perlu diketahui bahwa teori Grierson ini masih menuai kritik dan komentar yang hingga kini belum tuntas, karena ada kata ‘kreatif’ yang mengisyaratkan adanya ruang abu-abu . Salah satu penekanan Grierson mengenai dokumenter ialah ‘dokumenter merupakan alat untuk edukasi’, maka apapun tema dan konteksnya, sebagai media edukasi tujuan dokumenter ialah memberikan sebuah pencerahan atau pemahaman baru pada publik tentang dunia.
Sebagai jalan tengah kita mencoba mengamati tiga karya film ‘non-fiksi’ yang secara tegas dapat dibedakan satu dengan lainnya berdasarkan sudut pandang etika dan estetika, meski secara devinisi ketiga film ini prinsipnya dapat diterima sebagai bentuk garapan film dokumenter. Ketiga film tersebut adalah “Triumph of the will” (Triumph des willens) (1934) karya Leni Riefenstahl , “Shape of The Moon” (2004) karya Leonard Retel Helmrich, dan “High Class I&II” (1994) karya Frederick Wiseman. Alasan memilih ketiga film ini, seperti sudah diterangkan diatas bahwa, ketiga film ini dinyatakan sebagai film dokumenter, yang tentunya dengan konteks dan gaya kemasan yang berbeda. Selain itu untuk mendiskusikan tentang dokumenter dalam kaitannya dengan istilah ‘semi’ maka ketiga film dokumenter ini sangat tepat dijadikan acuan atau referensi. “Triumph of the will” penulis anggap sebagai dokumenter propaganda, “Shape of The Moon” sebagai dokumenter kreatif. Terakhir kita akan menilai “Bowling for Columbine ” karya Michael Moore.
Semi-Dokumenter berangkat dari pengembangan penambahan ‘rekayasa’ adegan kedalam konteks garapan dokumenter sebagai karya film non-fiksi. Dengan demikian jelas bahwa semi-dokumenter bukan embrio konsep dari fllm fiksi. Karena ide cerita film fiksi didapat dari perenungan terhadap kehidupan, kemudian inspirasi tersebut direfleksikan melalui proses kreatif dalam proses penggambaran realita imajinatif, Bila semi-dokumenter dikatakan sama seperti dokumenter propaganda, alasannya adalah visualisasi dari realita yang ada ditambahi dengan sejumlah adegan rekayasa agar lebih memukau dan mempengaruhi opini publik. Perlu kita jernihkan bahwa dokumenter propaganda memiliki dua bentuk dan tujuan, yaitu untuk propaganda politik dan propaganda sosial, yang pertama umumnya berkonotasi negatif, sedangkan yang kedua umum melihatnya sebagai yang positif.

Triumph of The Will
Leni Riefensthal membuat film “Triumph of the will”, merupakan proyek pencitraan untuk Adolf Hitler sang diktator NAZI. Karya tersebut meski sebagian menganggap sebagai salah satu master-piece dokumenter, tetapi tak mampu dihindari hujan kritik pedas yang datang bertubi-tubi hingga sekarang . Secara sinematografi bahwa, master peace tersebut merupakan karya film propaganda politik yang paling sukses garapannya, sehingga nama Leni Riefensthal pun menjadi popular dikalangan sineas dunia. Hampir semua literatur teori film khususnya dokumenter, pasti akan memunculkan namanya sebagai referensi maupun acuan teoritis dan empiris. Ketika melaksanakan produksi, Riefensthal selalu didampingi atau lebih tepat bila dikatakan dikontrol oleh Herbert Seehofer konsultan propaganda partai NAZI, jelas bahwa karya dokumenternya tidak akan menyentuh sepenuhnya realita yang ada, meski dalam sebuah wawancara di film dokumenter yang mengisahkan potret dirinya, Riefensthal yang mengawali kariernya sebagai bintang film, dan mampu menjadi kameraman yang baik, membantah keras bahwa karya-karya film dokumenternya merupakan dokumenter propaganda. Bila melihat “Triumph of the will” atau “Olimpic” jelas terlihat Riefensthal sangat rapi dan rinci dalam penataan kameranya, sehingga semua sudut pengambilan dalam komposisi yang memberikan kesan kuat mengenai kebesaran NAZI Jerman. Karya Riefensthal yang bertujuan propaganda politik ini apakah bisa dikatakan sebagai dokumenter atau semi-dokumenter ?.

Shape of The Moon
Berikutnya kita akan mengamati pendekatan dari Leonard Rietel Helmrich dalam karyanya yang telah memenangkan festival dokumenter kelas dunia baik di IDFA Amsterdam maupun di Sundance Festival. “Shape Of The Moon” (2005) telah menjadi acuan dokumenter kreatif, yang sekarang ini menjadi acuan kriteria para juri di ajang festival dokumenter dunia. Konsep Helmrich dalam “Shape of the moon” adalah menceritakan tentang kondisi politik dan budaya Indonesia berdasarkan interpretasinya. Subjek utama adalah anggota keluarganya sendiri dari garis keturunan sang bunda asal Jawa Tengah. Sebagian besar adegan peristiwa yang ada direkonstruksi, bahkan tak sedikit yang diciptakannya berdasarkan interpretasi pribadi. Meski demikian semua adegan yang diciptakannya dan ketengahkan dalam filmnya, adalah re-representasi dari peristiwa yang ada dan pernah terjadi di Indonesia. Kemudian apa yang akan dinilai dari film ini, apakah dokumenter atau semi-dokumenter ?.

Bowling for Columbine
Terakhir kita akan menilai “Bowling for Columbine” karya Michael Moore, yang mendapat penghargaan di ajang Oscar 2005. Melalui dokumenternya itu Moore ingin menyampaikan pesan pada warga serta pemerintahan Amerika Serikat bahwa, terjadinya penembakan terhadap massa yang sering terjadi, karena bebasnya masyarakat memiliki senjata api. Terlihat dengan banyaknya organisasi atau komunitas yang aktivitasnya berkaitan dengan senjata api. Berangkat dari konsepnya itu Moore menyusun struktur penuturan dalam karyanya itu, dengan pendekatan jurnalistik/reportase dan gaya partsipan. Gaya pendekatan Michael Moore ini oleh Bill Nichols disebutnya sebagai gaya Interactive Documentary . Michael tidak melakukan pendekatan observasional, karena memosisikan dirinya sebagai pertisipan, mediator antara subjek dengan penonton, bukan sebagai observator seperti yang menjadi metode cinema verite dan direct cinema. Dalam film dokumenternya itu Moore seakan seperti reporter atau presenter (host), on frame dia menuntun penonton untuk mengikuti kajian sekaligus investigasi, untuk mendapat jawaban sekaligus sebagai pesan tentang bagaimana seorang anak begitu bebas membwa senjata api lalu menembaki murid dan guru sekolah di Columbine.

Kesimpulan
Grierson menjadikan karyanya “Drifters” sebagai argumentasinya ketika mengeritik karya Robert Flaherty “Nanook of the North” yang nyatakan dokumenter yang romantis. Grierson yang seakan anti estetika, menuturkan kehidupan para nelayan, dimulai dari bangn di pagi hari, sarapan, lalu membawa peralatan mengail dan menuju kapal penangkap ikan. Kemudian setelah mendapat hasil tangkapan mereka kembali ke pelabuhan kemudian menjual hasil tangkapannya itu di pasar pelelangan ikan. Dengan demikian “Drifters” memperlihatkan bagaimana membuat karya film dokumenter murni. Sedangkan Flaherty dalam “Nanook of the Nnorth” mengutamakan estetika sinematografi dan menggunakan metode ploting, yang pada hakekatnya dianggap tabu oleh sineas dokumenter cinema verite.
Bila kita kembali pada awal bahwa ‘semi-dokumenter’ menciptakan rekayasa atau penambahan adegan agar bobot pesan yang ingin disampaikan mampu mempengaruhi opini publik. Kemudian pertanyaannya adalah, bagaimana dengan ketiga film dokumenter “Triumph of the Will” (Triumph des willens), “Shape of The Moon”, dan “Bowling for Columbine” ?. Tentu akan sulit mendapatkan jawaban bila kita ingin mendevinisikannya sebagai ‘semi-dokumenter’. Ada kemungkinan kita akan terjebak dan tanpa sadar menyatakan bahwa dokumenter murni hanyalah yang melakukan konsep observasional sedangkan yang tidak maka itu tidak sepenuhnya dokumenter alias semi-dokumenter’. Seperti Grierson yang mengatakan bahwa karya Robert Flaherty bukan sebuah dokumenter karena hamper semua adegan tidak apa adanya, melainkan diatur setiap adegan dengan tujuan mendapatkan sudut pengambilan (angle of shot) yang memukau.
Pada akhirnya kita bisa dengan lega menarik kesimpulan bahwa pada hakikatnya dokumenter adalah dokumenter, mengenai isi, konteks dan garapannya itu merupakan tanggung jawab etika dan estetika pembuatnya. Istilah semi-dokumenter yang merupakan istilah yang diciptakan pengamat, kritikus ataupun jurnalis, memperlihatkan bahwa kritik itu mudah sedangkan seni itu sulit.

Oleh: Gerzon R Ayawaila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar