Industri Media dan Pendidikan
sebuah
pengamatan dilematis
Gerzon Ron Ayawaila.
Abstrak
Tumbuhkembangnya media berikut industrinya
di Indonesia dapat diakui semakin semarak. Pengaruhnya pun terasa dan terlihat
pada pergeseran nilai yang terjadi dalam pola berpikir dan gaya hidup
masyarakat. Budaya media sudah meresap kedalam kebutuhan keseharian masyarakat
yang dianggap haus akan informasi dan hiburan. Pertumbuhan ini diikuti dengan
tumbuhnya sejumlah besar institusi pendidikan film dan televisi yang kebanyakan
berkumpul di pulau Jawa. Tentunya pertumbuhan industri kreatif ini dapat
menunjang rencana jangka panjang pemerintah dalam hal ini Kementrian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif. Akan tetapi berkembangnya industri media bagian dari
industri kreatif, tidak selalu membawa
hikmah dan berkah bagi lapisan masyarakat yang terlibat, sebagai publik media.
Dipihak lain dari sisi para kreator, penggiat televisi, sineas film yang
berfungsi sebagai distributor karya cipta kepada industri media, juga mengalami
ketidak seimbangan antara kontribusi dan imbalan pendapatan, hingga soal hak
azasinya didalam ranah hukum.
Kata kunci: industri media, industri kreatif dan pendidikan.
Pendahuluan
Mengetengahkan tema ‘media dan
pendidikan’ dapat mencakup arena yang luas, menyadari hal ini maka saya perlu
mengerucutkannya pada topik faktual yang diharapkan dapat membincangkan tema
diatas dengan argumentasi sederhana menjelaskan visi dan misi dari tema
tersebut. Dengan demikian maka tulisan ini akan membincangkan permasalahan industri
media, publik media dan institusi pendidikan film dan televisi, yang ketiganya
memiliki keterlibatan, meski secara normatif tidak selaras atau tidak adanya
keseimbangan.
Membahas media dan pendidikan, khususnya
mengenai industri media penyiaran dan institusi pendidikan film dan televisi,
merupakan suatu kerja kajian yang mudah membentuk teori, tetapi sulit
mengimplementasikannya. Karena antara teori estetika dan etika yang diajarkan
di kelas, jauh berbeda dengan kenyataan dilapangan industri media, dan fungsi media
massa terhadap kepentingan publik, pastinya bertolak belakang dengan
kepentingan para pemilik dan penguasa media.
Sudah banyak diskusi serta sejumlah
literatur penelitian dan kajian dilakukan, yang terkait dengan media dan
pendidikan. Meski hingga kini kesibukan atau kegiatan itu belum membuahkan
implementasi positif yang kasat mata. Mungkin kita cukup berpuas diri dengan
mengatakan ‘ini masih proses’ ?. Pertanyaannya, apakah proses tersebut berjalan
di jalur yang tepat sasaran atau tepat guna, atau bahkan berjalan dijalur
lingkaran setan ?.
Lembaga pendidikan film dan
televisi berfungsi menciptakan kaderisasi bagi sumber daya manusia yang
nantinya akan mengisi ruang-ruang kreatif didalam industri media. Idealnya ada
suatu keseimbangan antara kontribusi sumber daya manusia dengan sektor
industri, sehingga terorganisir sebuah sistim yang mampu menunjang
keberlangsungan pertumbuhan industri kreatif. Disisi lain bagi publik media
bisa mendapatkan nilai positif dalam hal kemampuan memahami sekaligus
menginterpretasikan citra, wacana, makna hingga realita yang disajikan media
kedalam ruangan mereka, baik itu ruang publik maupun ruang privat.
BUDAYA MEDIA DAN BUDAYA
BARU
Budaya media yang saya maksudkan disini
adalah, gambaran tentang masyarakat kontemporer yang menjadi tergantung pada
media. Informasi hiburan yang disajikan media merupakan menu keseharian
audiensnya. Setiap pesan, makna, citra yang disajikan media massa berinteraksi
secara searah dengan publiknya dalam waktu yang lama, sehingga tanpa disadari
bahwa realitas yang dibentuk oleh media menjadi realitas semu publiknya.
Perubahan gaya hidup adalah contoh dimana budaya media telah membawa budaya
baru pada setiap generasi sesuai ruang dan waktunya.
Membincangkan budaya media berarti kita mengamati
suatu budaya baru, dimana budaya baru ini ‘dianggap’ telah menggeser pemahaman konservatisme
akan adanya budaya tinggi (elitisme) dan
rendahan. Apabila dizaman modern klasik,
aristokrasi menetapkan definisi dan perbedaan antara budaya tinggi dan budaya
rendahan, maka budaya media sepertinya justru merobohkan tembok perbedaan
tersebut, lalu mengantikannya dengan menciptakan identitas budaya baru yang
mencakup semua lapisan kasta sosial. Secara berjenjang budaya media dikuasai
media massa khususnya media penyiaran, kemudian media massa dikuasai pemilik
media. Maka jelas bahwa penguasa budaya
lama adalah para aristokrat dan intelektual modern, maka budaya baru
penguasanya adalah para kapitalis media massa.
Roda industri yang dikemudikan oleh
kapitalis modern melindasi nilai-nilai kearifan lokal, sehingga masyarakat yang
belum siap mengantisipasinya, terlihat seperti kehilangan pegangan atau arah
dalam menentukan eksistensinya. Kapitalis industri media massa yang bertandang,
bergandengan dengan budaya baru yaitu budaya populer, menelusuri sekat-sekat
budaya masyarakat. Pada akhirnya sekat-sekat tersebut bergeser menjadi
celah-celah yang dengan mudah dirasuki santapan industri media, secara gamblang
penetrasi tersebut diterjemahkan dalam sajian media televisi.
Graeme Burton meringkasnya sebagai produk
informasi, hiburan dan industri media secara luas termasuk infrastrukturnya. Lebih
jauh Burton menyatakan bahwa produk media berhubungan dengan perubahan sosial,
misalnya penciptaan publik generasi muda. Douglas Kellner melengkapinya dengan
menyatakan budaya media telah mendominasi dengan memberikan bentuk baru
pandangan politik dan sikap sosial, yang memberikan ruang untuk membangun
identitas pribadi.
Budaya media tentunya datang
bergandengan dengan perkembangan industri dan teknologi media, yang kini sudah
memasuki era teknologi digital. Karena prasarana budaya media adalah teknologi
tinggi, maka tak heran bila budaya media adalah gabungan dari budaya dengan
teknologi, yang kemudian melebur menjadi bentuk konfigurasi baru, menghasilkan
tipe masyarakat baru yang hidupnya diatur atau dikuasai oleh prinsip komersialisasi
industri media dan teknologi, demi menarik laba untuk mengakumulasi modal.
Sepertinya jelas bahwa budaya media
berdampingan erat dengan budaya komersial yang berhasil melahirkan bibit identitas
budaya konsumerisme. Tak aneh bila produk kapitalis media menebar citra produknya
dengan cara menawarkan identitas baru melalui realitas baru kedalam ruang
publik, bahkan lebih dalam hingga ruang privat keluarga/rumah tangga.
Tekno
budaya yang menunjang budaya media mampu merekrut konsumennya secara merata
tanpa membedakan kelas sosial, bahkan dari yang religius hingga humanis. Liat
saja para penghotbah agama yang telah menjadi bintang iklan, seperti misalnya pada
iklan pulsa telefon genggam, makanan kecil, minuman penyegar hingga pariwisata,
terutama menjelang hari raya agama. Strategi iklan kapitalis telah mampu
menyatukan agama dengan barang dagangannya (komoditi), demi kepentingan
akumulasi modal. Bukan berlebihan
apabila dikatakan bahwa industri media menawarkan komoditinya dengan segala
cara. Promosi dilakukan berulang-ulang agar tertanam di benak masyarakatnya,
sesuai dengan teori komunikasi periklanan, dan daya pengaruh dari iklan
diharapkan menjadi lebih kuat terhadap konsumennya, dengan mengetengahkan ikon
para subjek tersebut.
Budaya Populer
Tumbuhkembangnya teknologi media berbarengan
dengan berkembangnya budaya populer, yang terahir ini lebih dikenal dengan
sebutan budaya pop. Presentasi dari budaya pop lebih kental dikenal masyarakat
pada bidang seni musik, maka ada istilah musik pop. Meski perkembangan budaya
atau seni pop ini juga meluas kedalam seni film, seni rupa, hingga seni
pertunjukan.
Dalam kajian budaya istilah budaya baru
ini diinterpretasikan terkait dengan budaya paska-modern (post modern). Meski terus terang saya beranggapan bahwa, saat ini dunia
masih berada pada masa peralihan dari era modern berpindah ke era paska-modern.
Sepakat dengan Kellner, yang dengan tegas mengkritisi pendapat mengenai masa
peralihan ini, bahkan dikatakannya pula bahwa banyak terjadi penyalahgunaan
teori paska-modern dalam menilai dan menyatakan adanya keterputusan sejarah
antara modern dan paska modern.
Pada kesempatan ini, saya tidak ingin membahas
mengenai teori maupun permasalahan post-modern lebih luas, karena saya masih
bimbang dengan sebutan budaya post modern serta pemahamannya, apakah ini hanya
sebuah trend budaya, ataukah memang sebuah bagian pengetahuan baru dalam
disiplin kajian budaya ?.
Kemudian dimana posisi budaya populer dan
apa keterkaitannya dengan media penyiaran ?. Ada sejumlah kecil opini yang
beranggapan bahwa budaya populer adalah pendobrak budaya, yang dengan cepat
melepaskan diri dari pakem yang digariskan budaya modern klasik. Budaya populer
atau seni pop lahir dan bertahan karena kehendak media dan konsumsi, sesuai
dengan ideologi kapitalisme. Sehingga jelas dapat dibedakan atau didefinisikan
agar kita mampu mencermati secara jernih masing-masing kekuatan zaman yang melahirkan
gagasan dan citra baru bagi generasinya sesuai ruang dan waktu, yang tentunya
terkait pula dengan ideologi yang ingin diperjuangkan demi menggeser eksistensi
generasi pendahulunya.
Sebagai contoh dapat kita misalkan pada
perbedaan musik modern klasik barat yang mengutamakan melodi yang harmoni,
dibandingkan dengan musik pop yang
menekankan pada timbre dan konotasi. Musik pop kebanyakan lahir dari
jalanan, sebuah pembrontakan anti kemapanan sekaligus menuntut ruang presentasi yang seimbang dengan pendahulunya
yang berusaha melestarikan arogansi etika dan estetikanya.
Dalam hal ini saya tidak memperdebatkan
soal salah benar atau positif negatif
dari kedua seni musik ini, yang saya ingin soroti adalah peranan media yang
lebih condong kearah musik pop/budaya populer. Media memberi ruang lebih pada
budaya pop, karena lebih mendatangkan keuntungan bagi industri, dibandingkan
dengan budaya modern klasik.
Seni pop memberikan kebebasan estetika
dan etika pada publiknya, ini berbeda bila kita menonton pagelaran seni musik
klasik barat, yang meminta eksklusifitas komunitasnya dalam hal tata krama
penampilan emosi, ekspresi hingga berbusana.
Dipihak lain, industri budaya tidak berkepentingan
dengan kesibukan menilai tinggi rendahnya sebuah seni, tetapi lebih menuntut
laku atau tidaknya seni tersebut dipromosikan untuk dijual. Sehingga tidak
berlebihan bila diatas telah disinggung bahwa, budaya pop atau seni pop
berjalan bergandengan mesra dengan industri media, demi meraup dan membagi
keuntungan bersama yang kadang dengan nilai yang tak berimbang antara seniman
sebagai pencipta seni dan pemilik modal.
Budaya
populer diidentifikasi sebagai budaya massa, dimana produk massal tersebut
disebarluaskan sebagai komoditi yang akan diterima sebagai menu baru yang ‘mungkin’
lebih nikmat. Kesemua nama/istilah ini dirangkum menjadi satu ke dalam pabrik
besar yang dinamakan industri budaya.
Identifikasi komoditi industri budaya
adalah ‘standarisasi’ kemasan atau garapan dalam hal corak, bentuk dan gaya. Tanpa
berniat merendahkan musik pop, saya sepakat dengan pendapat Adorno yang
mengatakan:
Musik pop yang
dihasilkan industri budaya, didominasi oleh dua proses:
standarisasi dan
individualisme semu. Contohnya adalah semakin lama
lagu-lagu pop
kedengaran mirip satu dengan yang lainnya.[1]
Industri
media yang merupakan bagian dari industri budaya, menggunakan standarisasi ini
untuk mengonstruksi audiensnya. Pada bagian awal tulisan telah disinggung
masalah konstruksi pembedaan tingkat budaya tinggi dan budaya rendah yang
dibentuk oleh visi koservatisme, maka sekarang pun standarisasi media juga bertujuan
mengonstruksi masyarakat penontonnya dalam strata sosial, sehingga dalam target
pemirsa ada istilah pembagian kelas sosial A,B,C,D. Konsep pembagian strata
sosial bentukan industri media penyiaran ini, juga diterapkan di dunia
pendidikan yang terkait, misalnya kita lihat dalam bentuk tugas penulisan proposal
pada mata kuliah manajemen produksi televisi atau laporan kerja tugas akhir,
yang mengharuskan penentuan kelas sosial dari target pemirsa sesuai dengan
program/acara yang akan diproduksi.
Graeme Burton menyatakan bahwa media
memiliki ‘kekuasaan tersembunyi’, dengan landasan politik ekonomi yang mencakup
ideologi, hegemoni dan wacana. Dalam hal ini Burton lebih menekankan pada
ideologi yang membentuk wacana, karena memang masih banyak pertanyaan yang
belum terjawab dengan kongkrit mengenai, apakah betul dan sejauh apa hegemoni media
penyiaran itu ?.
Bila mengenai ideologi, mungkin bisa
lebih kongrit dengan mengacu pada media film yang berperan sebagai media
pembentuk ideologi. Contoh film produksi Hollywood seperti ‘Rambo’ kemudian ‘Platoon’ dan lain-lainnya, diproduksi dengan tujuan mengembalikan
citra negara adidaya Amerika yang compang camping setelah menghadapi perang
Vietnam. Pada masa pemerintahan Ronald Reagen, film menjadi media untuk
memperkuat hegemoni sekaligus merevitalisasi citra politik Amerika. Dengan
demikian suatu pesta besar yang dapat diraup dari produksi film-film tersebut,
yaitu stabilisasi citra politik dan akumulasi modal bagi industri kreatifnya.
Kajian ideologi melalui film sudah cukup
banyak dilakukan dengan mengkombinasikan antara teori filmologi (gramatika
film) dengan ilmu sosial lain, hingga secara kritis ada istilah imperialisme
ideologi yang disebar melalui media film termasuk media televisi keberbagai
kultur di dunia, sehingga muncul istilah ‘imperialisme budaya’. Amerika dengan industri
Hollywoodnya ditambah sejumlah stasiun televisi raksasanya, pada prinsipnya lebih
mampu melakukan hal tersebut, dibanding negara maju lainnya.
Kita sering mendengar istilah
‘globalisasi’, ini adalah sebuah proses yang mengarah pada penyempitan atau
pengerucutan dunia, yang oleh Mc Luhan disebut sebagai ‘desa global’. Proses ini tentunya tak lepas dari peranan
media penyiaran, dimana kita bisa munculkan pula istilah globalisasi film atau
globalisasi televisi, ini merupakan strategi konseptual dari imperialisme media
yang merupakan bagian dari strategi imperialisme budaya.
PENUTUP
Demikianlah permasalahan yang terlibat
dengan kekuasaan didunia media khususnya media braodcast, sehingga seperti yang sudah saya katakan diatas bahwa
kajian atau pengamatan yang dilakukan dunia terhadap media dan pendidikannya sudah
banyak, ironisnya di Indonesia sendiri perhatian terhadap masalah ini hampir
tidak ada, hanya beberapa lembaga swadaya masyarakat saja yang giat melakukan
kajian sekaligus implementasi dilapangan.
Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan
di Indonesia, maka ada dilema yang dihadapi institusi pendidikan yang berorientasi
pada media massa, khususnya media penyiaran (film,televisi,radio).
Di kelas para mahasiswa mendapat masukan
ilmu berdasarkan etika dan estetika profesional, kemudian ketika mereka
memasuki dunia nyata industri media maka fakta yang ada dilapangan bisa saja
bertolak belakang dengan apa yang mereka dapat di bangku pendidikan. Para
alumni ini akan menghadapi tuntutan pasar kapitalis yang menjunjung tinggi
etika efisiensi, efektifitas dan murah meriah dengan menghasilkan nilai tinggi
untuk akumulasi modalnya. Dengan demikian para alumni ini dijadikan aset
sekaligus komoditi bagi pasar industri media massa. Lalu strategi pendidikan profesional
apa yang dapat dibekali pada para akademisi
ini yang merupakan calon kreator profesional ?
Bila kita mengacu pada sistim industri yang
berlaku secara universal dan berlaku di sejumlah negara seperti Amerika dan
Eropa, maka bukan suatu yang berlebihan bila kita menyatakan bahwa Indonesia belum
memiliki sistim industri film maupun televisi yang ideal[2].
Tatanan hukum yang ada tak mampu
mengimbangi kekuasaan para pemilik modal, sehingga membincangkan industri media
yang dikaitkan dengan pendidikan di Indonesia, sepertinya cukup sulit untuk sampai
pada titik akhir.
Akan tetapi sepertinya kita tak perlu
terlalu lama tenggelam dalam pesimistis, belakangan ini muncul sejumlah
festival film. Kegiatan festival yang skalanya bervariasi dari skala nasional
hingga skala lokal, merupakan alternatif (jika dapat dianggap) sebagai solusi
untuk mengimbangi hegemoni industri media penyiaran. Selain itu sejumlah
komunitas lokal giat menyelenggarakan acara pekan film diwilayahnya
masing-masing. Tentunya kegiatan alternatif ini menyediakan ruang kreatif dan
idealis bagi para kreator muda yang belum terlalu jauh terseret arus industri
kapitalis.