Menulis Treatment untuk sebuah peoduksi Dokumenter, tentunya bervariasi, tergantung pada selera atau tehnik dari setiap Sineas Dokumenter. Satu hal yang mutlak adalah para pembaca dapat memahami serta mengikuti jalan ceritanya dari awal hingga akhir. Tentunya jalan cerita yang rasional dan sesuai logika dari sebuah peristiwa realita yang nyata dan bisa dipercaya.
Dibawah ini saya mencoba memberikan contoh Treatment, sesuai dengan gaya saya.
Dibawah ini saya mencoba memberikan contoh Treatment, sesuai dengan gaya saya.
TREATMENT
54
menit
Judul:
“ pelangi ku tertutup
debu ”
Potret anak jalanan Jakarta
Oleh: Gerzon.R.Ayawaila
Suasana
kota Jakarta siang hari, kepadatan dan kesemerawutan lalu lintas merupakan
pemandangan tiap hari.
Tampak
jejeran panjang puluhan kendaraan berhenti di perempatan lampu merah, kemudian
anak-anak pengamen, ditambah dengan para penjaja koran, pedagang asongan, dan
pengemis sibuk berseliweran diantara kendaraan yang berhenti menunggu lampu
hijau menyala.
Sebagian
pengendara merasa tidak nyaman berkendaraan, sehingga ada yang menutup rapat
jendela mobilnya meskipun ada pula yang memberi sedekah pada pengamen cilik.
[Dapat
dimaklumi karena sekarang ini, para penjahat melakukan modus operandi mereka
dengan cara menyamar menjadi pengemis atau pengamen di jalanan (scene candid camera]
Kota Jakarta di malam hari, masih
terlihat kepadatan kendaraan, terutama di perempatan lampu merah. Para bocah pengamen dan pengemis tampak masih berusaha
mengumpulkan receh demi receh dari pengendara mobil yang berhenti di lampu
merah. Sedangkan di tepi jalan tampak sejumlah ibu-ibu sedang menunggui
anak-anak mereka yang sedang mengamen atau mengemis di jalanan.
Di sisi jalan lainnya tampak
deretan warung makan menyemarakan kehidupan malam ibu kota, beberapa pengamen
mencoba mendapatkan recehan dari pengunjung warung yang sedang menikmati
santapannya.
Suasana pagi hari rumah singgah
‘Nusantara’ di Jakarta Selatan. Sebagian anak tampak baru selesai mandi, sedang
yang lainnya menunggu giliran mandi, beberapa anak perempuan menyiapkan sarapan
pagi, di pojok ruangan terlihat beberapa anak masih tergolek nyenyak di lantai.
Bagi anak rumah singgah yang disekolahkan, tampak mereka bersiap-siap hendak
berangkat ke sekolah.
Tak
lama kemudian Gareng pengelola rumah singgah muncul lalu membangunkan anak-anak
yang masih tergolek. Anak jalanan penghuni rumah singgah dibiasakan bangun
pagi, kadang mereka melakukan olah raga pagi.
Akan
tetapi biasanya tidak semua anak ikut karena ada yang harus ke sekolah, dan
banyak pula anak-anak ini yang masih lelah dan ngantuk, karena baru pulang
menjelang subuh.
Siang hari di perempatan lampu
merah, sejumlah kendaraan berhenti menunggu lampu hijau menyala. Lestari dengan
gitar kecilnya (jukulele) sambil bernyanyi, menghampiri
satu demi satu kendaraan yang sedang berhenti, ada pengendara yang memberikan
uang receh. Lelah mengamen di jalanan karena panas matahari, Lestari lalu
berpindah mengamen ke dalam bis kota
yang sedang melaju dijalanan. Umumnya para penumpang bis selalu memberikan uang
receh pada anak-anak pengamen.
Setelah lelah mengamen Lestari
beristirahat dibawah pohon, kemudian dia menceritakan kisah hidupnya yang penuh
penderitaan.
(Note: Orang
tuanya bercerai, setelah Ibunya lari meninggalkan ayahnya yang pemabuk dan
sering memukuli istri dan anak-anaknya. Melihat kondisi ekonomi ibunya yang
sangat miskin, Lestari terpaksa mencari uang dengan mengamen. Uang hasil
mengamen di simpan dan sebagian diserahkan kepada ibunya untuk menghidupi
adik-adiknya yang masih kecil. Ayahnya yang pemabuk tak memperdulikan kondisi
keluarga lagi, kadang suka pulang ke rumah hanya untuk meminta uang hasil
mengamennya dengan cara memaksa, bila tidak dikasih Lestari dipukuli. Tak tahan
terhadap prilaku ayahnya, Lestari kabur dari rumahnya. Sejak itu hidup nya pun
selalu berpindah dari jalanan ke rumah singgah, dan dari satu rumah singgah ke
rumah singgah lainnya. Dari Jakarta ke Bandung terus ke Jogyakarta kemudian
kembali lagi mengembara di Jakarta.)
Dari jam 5 subuh hingga jam 11
pagi Udi dan Ajum bekerja memulung sampah dari rumah ke rumah. Apabila sampah
rumahan kurang memuaskan maka mereka meneruskan pencariannya sampai ke pasar
Minggu. Bersama adik dan orang tuanya mereka tinggal di rumah gubuk sempit,
sehingga anak-anak pria seperti Udi dan Ajun saudaranya, terpaksa tidur di
emperan rumahnya.
Mereka sudah terbiasa apabila
setiap saat mereka harus pindah tempat, karena rumah mereka dibongkar petugas
kebersihan dan penertiban kota. Udi memiliki saudara kandung dan saudara tiri
yang cukup banyak.
Tumpukan sampah tampak bertebaran
disekitar gubuknya, keluarga ini tak sempat memikirkan kondisi kesehatannya.
Sehingga Udi dan beberapa saudaranya menderita penyakit TBC.
Setelah kembali dari memulung
sampah, lalu ayah dan ibunya memilah-milah sampah dan di kumpulkan terpisah
berdasarkan jenis sampah. Kemudian sampah-sampah itu dimasukan kedalam kantung
besar, selanjutnya di jual kepada juragan sampah (kamera akan
mengikuti kehidupan sehari-hari dari setiap anggota keluarga Udi).
Setelah selesai memulung sampah,
siang harinya bersama saudaranya Ajum, berdua mereka pergi ke rumah belajar.
Keduanya tak pernah mengecap bangku sekolah umum, karena kondisi ekonomi orang
tuanya yang sangat lemah. Oleh karena itu dengan penuh semangat keduanya
menganggap rumah belajar ini, sebagai sekolah formal mereka.
Suasana di sebuah Rumah Singgah
Belajar di Jakakarsa cukup ramai dengan suara anak-anak pengamen dan pemulung,
bahkan ada pula anak pengungsi dari Ambon ,
yang sedang memperhatikan pelajaran yang diberikan oleh para pengasuh dan
pengajar freelance. Anak-anak miskin yang datang ke sini, ada yang masih
bersekolah tapi ada pula yang memang tak pernah duduk di bangku sekolah umum.
Hubungan antara pengajar dengan anak-anak tersebut terasa sangat akrab.
Dewi salah satu pengajar
mengatakan bahwa, diperlukan kesabaran cukup tinggi, dalam memberikan pelajaran
kepada anak-anak ini. Karena mereka biasa hidup keras dan tidak beraturan,
sehingga mereka tidak begitu terbiasa dengan aturan-aturan sekolah. Oleh karena
itu sistim pengajaran di rumah belajar ini disesuaikan dengan keinginan dan
kemampuan belajar dari masing-masing anak.
Dewi menuturkan bahwa, pada
awalnya sangat sulit untuk mengajak anak-anak ini datang kerumah belajar.
Pengelola rumah belajar sering konflik dengan para orang tua anak-anak ini,
karena ada orang tua yang lebih senang anaknya mencari uang dengan mengamen
atau mengemis, ketimbang menuntut ilmu di rumah belajar.
(Note:
Rumah singgah belajar ini juga memberikan bantuan kesehatan bagi anak didiknya.
Seperti Udi yang mendapat pengobatan gratis bagi penyakit TBC nya).
Di persimpangan jalan raya Jakarta tampak sejumlah
anak kecil sedang mengamen, disela-sela kendaraan yang sedang berhenti menunggu
lampu hijau menjala. Diantaranya terlihat Amin sedang mengamen dengan alat
bunyi-bunyiannya yang sangat sederhana.
Amin berjalan dari satu mobil ke
mobil lainnya. Ketika lampu hijau menyala, anak-anak pengamen itu berlarian
menepi ke pinggir jalan, karena kendaraan bergerak maju melanjutkan
perjalanannya. Amin menceritakan bahwa dia diharuskan oleh orang tuanya untuk
mengamen, bila dia tak mau sering dimarahi orang tuanya, yang kadang
menungguinya di pinggir jalan.
Menjelang magrib Amin pulang ke
rumah singgah ‘Nusantara’. Suasana rumah singgah menjelang malam biasanya cukup
ramai, karena sebagian besar anak yang dari siang mengamen pulang.
Ada yang sedang makan, ada yang
menonton televisi, sebagian duduk di luar rumah sambil ngobrol atau bermain
musik sambil bernyanyi bersama.
Siti kakak perempuan Amin
biasanya ketika melihat adiknya pulang, langsung menyuruhnya mandi. Mereka
berdua selama ini tinggal di rumah singgah, meski sebenarnya mereka masih
memiliki orang tua yang tinggal di tempat lain. Bila orang tua mereka datang
menjenguk ke rumah singgah, tujuannya hanya untuk meminta uang hasil kerja
mereka mengamen, bahkan sering diminta dengan paksa. Bahkan dulu ketika masih
tinggal bersama orang tuanya, Amin sering dipukuli ayahnya bila tidak mau
mengamen.
Data Riset:
(Banyak
orang tua yang menyuruh paksa anak mereka mengamen atau mengemis, bahkan
disertai tindak kekerasan) Di
rumah singgah anak jalanan sering terjadi hal-hal yang tidak terduga, seperti
orang tua yang mengambil anak mereka dengan cara paksa dari rumah singgah. Ada anak-anak yang tidak
mau ikut karena takut perlakuan orang tua mereka yang kejam, misalnya sering di
pukul ayahnya serta selalu meminta paksa uang hasil mereka mengamen. Sebagian
anak justru menabungkan hasil keringat mereka itu pada pengelola rumah singgah,
ini menandakan bahwa mereka lebih percaya pada pengasuh rumah singgah daripada
orang tua kandungnya sendiri.
Kadang pengelola rumah singgah
seperti Gareng berusaha melindungi anak-anak asuhannya, dari tindakan kekerasan
orang tua anak. Selain itu Gareng
sebagai pengelola rumah singgah ‘Nusantara’ sering pula berurusan dengan
polisi, apabila ada anak asuhnya diangkut petugas penertiban kota saat dilakukan razia mendadak bagi para
pengemis dan penduduk yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk.
Biasanya Gareng
langsung mendatangi tempat penampungan, setelah berunding dengan petugas jaga
dan memberikan uang tebusan, baru anak asuhnya dapat dibebaskan.
Gareng juga mengurusi anak
asuhnya yang mendapat kecelakaan di jalanan, bahkan ada yang tewas tertabrak
mobil sedang pengendaranya kabur. Kemudian jenasah korban di bawa ke rumah
sakit umum pusat, untuk dimandikan dan di kebumikan bersama dengan mayat tak
dikenal lainnya secara massal. (Gareng menceritakan bahwa, dia pernah tidak
menemukan jenasah anak asuhnya yang tewas tertabrak mobil, dia menduga
anak asuhnya itu sudah di kebumikan secara massal).
-ooo0ooo-