“ Finals Day of Yitzhak Rabin”
Metro TV di waktu subuh 30 september 2010 menayangkan dokumenter dengan bentuk penuturan potret dari seorang tokoh Yahudi yang diakhir hayatnya sangat dihormati dunia, khususnya dunia Arab dan Yahudi. Yitzhak Rabin seorang mantan komandan perang tertinggi Israel, yang namanya menjadi perbincangan dunia karena kemampuannya memenangkan perang selama seminggu antara Israel dengan negara Liga Arab. Saat itu Yitzhak Rabin dikenal sebagai tokoh garis keras Israel. Wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat merupakan daerah yang telah direbutnya dalam perang beberapa hari. Sosok Yitzhak Rabin yang begitu keras bahkan mendekati prinsip yang ekstrim, ketika terpilih menjadi Perdana Mentri, justru menunjukan perubahan signifikan menjadi sosok yang memikirkan dan mengharapkan terjadinya suatu perdamaian bagi bangsa Yahudi dan Arab. Dua bangsa yang bertetangga dekat, tetapi sekaligus memiliki sejarah yang berdarah-darah selama puluhan tahun.
Dokumenter “Finals Day of Yitzhak Rabin” menuturkan bagaimana dramatikanya hari-hari terakhir Rabin, sebelum dibunuh oleh anak bangsanya sendiri. Amier seorang mahasiswa yang menjadi anggota kelompok ekstrim Shin Bet, selama tiga tahun lebih menyimpan keinginan untuk membunuh setiap Yahudi yang ingin berdamai dengan Palestina atau negara Arab lainnya. Dan tujuan utamanya adalah membunuh pemimpin negaranya yaitu Yitzhak Rabin. Ini sesuai dengan ikrar dari kelompok Shin Bet yang telah merekrut Amier sejak remaja. Shin Bet merupakan salah satu kelompok ekstrim kanan Israel yang bersiteguh untuk menjadi penghalang bagi setiap usaha perdamaian di Timur Tengah, khususnya perdamaian antara negara Israel dan Palestina.
Nasib Yitzhak Rabin sebagai pemimpin negara Israel memang sangat ironis, seorang yang tadinya sangat ekstrim, berubah menjadi juru damai, terlebih ketika dua kali bersalaman dengan Yaser Arafat meski dengan rasa enggan karena tekanan dari bangsanya sendiri. Saat Rabin berkampanye tentang rencana perundingan damai di Timur Tengah, disaat yang bersamaan bermunculan kelompok maupun individu yang antipati terhadap dirinya, dan Rabin dianggap sebagai penghianat bagi rakyat Israel, karena keinginannya mewujudkan perdamaian dengan Palestina dan negara-negara Liga Arab lainnya. Bagi bangsa Yahudi seorang penghianat negara layak dibunuh. Maka ancaman pembunuhan terhadap dirinya datang silih berganti, tetapi Rabin tak bergeming dan tetap pada pendiriannya untuk tetap teguh mendukung setiap usaha perundingan untuk perdamaian di Timur Tengah.
Setelah kembali dari perundingan damai di Amerika Serikat, Rabin melaksanakan suatu rapat akbar untuk mengukur kuantitas dari pendukungnya sekaligus sebagai pendukung perundingan damai. Di film tersebut diutarakan bahwa awalnya Rabin agak gusar karena hawatir rapat akbar tersebut sepi pengunjung, tetapi nyatanya diluar dugaan, rakyat yang berduyun-duyun datang ke lapangan Raja-Raja (nama lapangan tempat rapat akbar) memberi suatu sinar kebahagiaan bagi Yitzhak Rabin, karena membuktikan bahwa rakyat Israel yang mendukung usaha perdamaian Rabin hampir mayoritas. Kesuksesan rapat akbar tersebut ditutup dengan nyanyi bersama sebuah lagu untuk perdamaian, dimana lagu ini dahulu oleh Rabin sendiri dilarang keras untuk diperdengarkan. Selesai bernyanyi bersama lagu perdamaian, Yitzhak Rabin menyalami sebagian pendukungnya, dan saat hendak memasuki mobilnya yang anti peluru, Rabin ditembak dari jarak dekat oleh Amier. Dari pistol Baretanya Amier memuntahkan tiga peluru yang telah dimodivikasi oleh sang kakak, khusus untuk membunuh Yitzhak Rabin yang dianggap sebagai penghianat rakyat Israel.
Hampir seluruh dunia terguncang dan berduka ketika mendengar peristiwa pembunuhan terhadap Yitzhak Rabin, sosok juru damai yang menjadi tumpuan harapan sebagian besar bangsa Arab dan Yahudi. Disaat pemakamannya sosok Rabin mendapat penghormatan dunia yang tertinggi dan menakjubkan, karena dari semua tamu yang hadir, hampir semua pemimpin negara-negara Liga Arab turut hadir, kecuali Yaser Arafat yang tak bisa hadir karena alasan keamanan. Akan tetapi dua hari kemudian Yaser Arafat secara tak terduga datang secara diam-diam kerumah keluarga Rabin untuk menyampaikan rasa dukacitanya yang sangat dalam, karena bagi Arafat, Yitzhak Rabin mantan musuh besarnya itu, kini telah menjadi partner sekaligus teman yang dipercaya dalam mewujudkan cita-cita menuju perdamaian sejati di di bumi Palestina dan Israel serta wilayah Timur Tengah. Dengan kepergian Yitzhak Rabin untuk selamanya, maka rencana dan tujuan perdamaian yang telah dirintisnya bersama Yaser Arafat, diragukan dapat terus berlanjut. Dan ternyata memang demikian kenyataannya hingga kini, kedua bangsa negara masih saling bertikai seakan tanpa akhir.
Dokumenter potret “Finals Day of Yitzhak Rabin” yang dituturkan dengan struktur kronologis dan gaya eksposisi, diketengahkan dengan pendekatan tehnik kemasan yang konvensional sederhana, akan tetapi isi atau konteks dari dokumenter ini mampu memberikan suatu pencerahan untuk memahami betapa mahalnya harga atau nilai sebuah usaha perdamaian diantara umat manusia. Dokumenter ini juga menyiratkan bahwa, bila kita tak mampu merubah pola berpikir, serta tak mampu mengontrol keseimbangan antara pemikiran irasional yang umumnya dipenuhi rasa dendam, dengki, dan kebencian manusiawi, dengan pemikiran rasional yang lebih memiliki logika objektif, maka sangat sulit untuk dapat hidup berdampingan secara tulus dengan saudara kita yang berbeda ras, suku dan agama. Indonesia yang dikatakan sebagai negara pluralisme atau multi kultur, dapat menarik pelajaran dari film dokumenter ini. Karena hingga kini sebenarnya kita belum memahami secara benar makna dari pluralisme, sehingga muncul pertanyaan apakah pluralisme itu suatu simbol perbedaan atau keragaman ?.
GRA, 30-09-2010