SENI PERTUNJUKAN TRADISI dan ETNODOKUMENTER
Oleh: Gerzon.R.Ayawaila
Pendahuluan
Indonesia sangat kaya dengan seni pertunjukan tradisional, setiap daerah memiliki beragam seni pertunjukan tradisi, dan ini merupakan ritual yang bermakna kultural bagi masyarakatnya. Sayang sekali sebagian sudah hilang sebagian masih bertahan dengan segala daya upayanya. Banyak sudah opini baik secara verbal maupun tekstual didalam sejumlah jurnal dan literatur yang mengemukakan rasa kehawatiran baik secara implisit maupun eksplisit terhadap gejala kepunahan sejumlah seni pertunjukan tradisi di bumi Nusantara ini. Penyebabnya berasal dari berbagai masalah, dan bermuara dari kebijakan politis pemerintah yang tidak mementingkan strategi budaya yang kongkrit untuk menjaga eksistensi kesenian lokal dalam hal ini seni pertunjukan tradisi rakyat. Kebijakan pemerintah mulai dari orde baru hingga orde yang kini, sama sekali tak memiliki kebijakan strategi budaya yang tulus menjaga serta membangun eksistensi seni dan budaya. Semua kebijakan selalu dilandaskan pada motivasi politik dan ekonomi, yang hingga kini pun tak pernah menemui eksistensinya yang jelas atau kongkrit. Pengembangan seni pertunjukan tradisi lebih banyak diarahkan pada bentuk komoditi untuk kebutuhan pengembangan pariwisata, misalnya permasalahan yang terjadi pada seni pertunjukan tradisi Bali (Djelantik,2003:117).
Kebijakan pemerintah secara tidak langsung telah menyeret eksistensi kemurnian seni pertunjukan tradisi, kedalam kubangan industri budaya, yang entah disadari atau tidak, itu merupakan bagian dari jeratan ideologi globalisasi. Disisi lain tentu bukan hal salah bila seni pertunjukan juga dikemas untuk kepentingan pariwisata, akan tetapi persoalannya adalah tidak adanya imbalan yang memadai bagi eksistensi penggiat untuk bisa menjaga perbedaan antara kemurnian dan objek industri. Program atau proyek pengembangan seni pertunjukan tradisi yang dikemas untuk kepentingan pengembangan usaha pariwisata nasional, menurut dugaan penulis menyediakan anggaran besar yang sulit dideteksi aliran penggunaannya. Sehingga ini merupakan anugerah haram yang dengan sukacita dapat dinikmati oleh sejumlah pihak birokrat yang terlibat dalam proyek pariwisata tersebut. Sedangkan masyarakat lokal penggiat seni pertunjukan tradisi, tidak mendapatkan sesuatu yang positif bagi keberlangsungan eksistensi keseniannya. Ironisnya para penggiat seni pertunjukan tradisi justru ingin diseret pula kedalam kubangan industri budaya sebagai bagian dari kebijakan politik para birokrat kapitalis.
Kembali pada eksistensi kesenian rakyat, salah satu yang perlu disorot adalah politik globalisasi yang sedang dihembuskan keseluruh penjuru dunia, khususnya yang ditujukan pada negara-negara baru berkembang. Munculnya gempuran ideologi globalisasi yang bila tidak dicermati dengan penuh kesadaran, terasa seperti membawa angin segar bagi kehidupan kebersamaan dalam suatu desa dunia yang sejahtera, berdasarkan kompromis yang komunikatif. Kenyataan yang ada justru merupakan mimpi buruk bagi ekseistensi seni pertunjukan tradisi. Sejumlah catatan kritis mengemukakan adanya pergeseran bentuk dan makna dari kesenian rakyat, yang mengakibatkan terperosoknya sejumlah kesenian lokal kedalam hegemoni industri budaya (Piliang, 2005:311).
Strategi politik budaya yang dirancang sebagai ideologi globalisasi menurut penulis bertujuan memotivasi semua perbedaan yang ada untuk masuk kedalam kesatuan kebersamaan yang terkontrol (heterogenisasi dalam hegemonisasi). Istilah penulis mengacu pada tulisan Yasraf Amir Piliang “heterogenisasi dalam homogenisasi” (Piliang, 2005: 316). Maka selanjutnya dapat diramal bahwa pergeseran yang terjadi didalam bentuk dan gaya seni pertunjukan tradisi, sepertinya akan jauh dari harapan bahwa itu akan tetap menjadi simbol murni seperti asal muasalnya, yaitu memiliki tujuan ritual untuk kepentingan keseimbangan spiritual bagi struktur atau sistem kehidupan masyarakat lokal.
Hal yang penulis anggap sebagai alternatif yang sangat mumpuni adalah dilakukannya pengarsipan visual bagi semua seni pertunjukan yang ada di bumi Nusantara ini. Mulai dari seni pertunjukan tradisi yang masih aktif, yang sudah hampir punah hingga yang sudah punah dari koleksi budaya bangsa ini. Usaha minimal ini bertujuan mengarsipkan seni rakyat ini, agar generasi berikutnya tidak kehilangan identitas karena tak menyadari adanya warisan kekayaan seni tradisi dari nenek moyangnya. Tentu ini ironis bila hal ini sampai terjadi, tentu sebagai negara bangsa kita gagal menyusun strategi budaya, karena sudah disepakati bahwa budaya merupakan landasan bagi kemajuan serta kedewasaan sebuah negara bangsa.
Pengembangan serta pelestarian terhadap seni pertunjukan tradisional sangat minim, bahkan dapat dirasakan bahwa pemerintah kurang memperhatikan aspek budaya di dalam sejumlah besar kebijakannya. Hal ini dengan jelas terlihat pada perhatian yang diberikan sebagian masyarakat dan pemerintah terhadap perkembangan kesenian rakyat, padahal seni pertunjukan tradisional merupakan salah satu warisan budaya yang sangat bermakna sebagai identitas bangsa. Apabila ini tidak diarsipkan melalui media audiovisual maka, langkah sejarah kedepan akan menggambarkan kondisi dan situasi yang ironis, dimana generasi berikut dan berikutnya lagi mungkin akan kehilangan identitasnya, akibat ketiadaan pijakan masa lampau, sehingga kita berasumsi apakah ada kemampuan untuk langkah kedepan menghadapi terjangan perkembangan budaya modern hingga paska modern dalam kungkungan ideologi globalisasi ?.
Sepertinya diperlukan suatu langkah evaluasi terhadap budaya. Mungkin kita sudah terlalu terlena atau mungkin tidak sadar bahwa kondisi situasi budaya yang ada perlu di kaji ulang. Mengutip Immanuel Kant, bahwa ciri khas kebudayaan yang berkembang terlihat pada kemampuan masyarakatnya dalam mengatur serta mengevaluasi eksistensinya sendiri (Peursen, 1985: 14). Apakah kita telah dengan tulus memandirikan kemandirian seni dan pranata budaya kita ?. Untuk itu tentu diperlukan sebuah tindakan dan cara yang efektif menampung koleksi kekayaan seni budaya Nusantara. Tehnologi audiovisual (film/video) telah diakui memiliki kemampuan menyampaikan informasi sekaligus mempengaruhi aspek psikologis khalayak. Disamping itu kegunaan lainnya adalah semua karya audiovisual ini dapat dijadikan koleksi arsip visual yang tak ternilai.
Menggunakan audiovisual sebagai media untuk melaksanakan pendataan sekaligus pengarsipan mengenai seni pertunjukan tradisi, adalah cara yang menurut penulis dapat dianggap tepat dan efektif. Ide ini dapat dilihat misalnya pada National Geographic dan Discovery sebagai jaringan televisi berlangganan, dimana kedua stasiun ini memiliki sejumlah besar dokumenter tentang kehidupan hewan, tumbuhan dan manusia hampir diseluruh penjuru dunia. Ini merupakan arsip visual dunia yang dikumpulkan, dan merupakan suatu aset dunia dalam pengarsipan audiovisual. Dengan demikian maka bukan sesuatu yang berlebihan bila kita juga membuat dan memiliki sejumlah arsip audiovisual mengenai seni pertunjukan tradisi.
Pembahasan
Merekam gambar seni pertunjukan tradisi, baik dalam bentuk upacara ritual maupun dalam bentuk pagelaran dan kemudian merepresentasikannya kepada publik umum maupun khusus, diperlukan beberapa pendekatan yang berkaitan dengan produk representasi tersebut. Seni pertunjukan seperti sudah banyak literatur yang mengulasnya bahwa merupakan suatu semiotika kultural dari masyarakat lokal, dimana kesenian tersebut tumbuh dan berkembang. Seni pertunjukan tradisi memiliki makna spiritual sehingga tidak sekedar sebuah ritual yang dapat dengan sederhana dikemas menjadi pertunjukan hiburan. Makna pesan spiritual yang sakral, disampaikan melalui bahasa tubuh, musik, dialog dan nyanyian, yang kesemuanya ini merupakan ekspresi dari ritual. Meminjam istilah intrinsik dan ekstrinsik, dimana dua aspek yang ada pada setiap seni pertunjukan, yaitu aspek karakter tokoh atau disebut juga struktur mental, dan aspek perwujudan fisik yang merupakan gabungan dari artistik dan penampilan pertunjukan tersebut (Probonegoro, 2005: 34).
Permasalahan sekaligus tantangannya adalah, bagaimana kita mampu memahami kedua aspek intrinsik dan ekstrinsik, yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa film. Ketika semua ini direkam oleh lensa kamera, maka akan terjadi perubahan sudut pandang, dari kasat mata berpindah pada sudut pandang ‘point of view’ kamera sebagai mata film atau ‘kino Eye’ istilah dalam teori Dziga Vertov (Ellis&McLane, 2006:33-34). Tentu kedua perspektif ini memiliki kelebihan sekaligus keterbatasan. Sudut pandang secara kasat mata manusia sebagai perspektif kognitif mampu melihat dengan sudut lebar yang tak terhingga, sedangkan point of view mata film memiliki batasan yang di format ulang dalam bingkai (framing) terkait dengan rasio layar (screen ratio).
Penulis mencoba mengetengahkan dua alternatif pendekatan, baik teoritis maupun implementasi empirisnya. Pertama, pendekatan bahasa film dengan genre dokumenter, dan kedua, pendekatan Antropologis dengan perspektif antropologi visual/film etnografi. Kedua pendekatan ini dipilih dengan alasan bahwa keduanya memiliki kemampuan merepresentasikan seni pertunjukan tradisi dengan visi visual yang berbeda, tetapi mampu mewakili setiap tujuan dan kepentingan. Pilihan pada pendekatan film etnografi jelas memiliki aspek edukasi, sedangkan pilihan pendekatan film dokumenter harus berisikan aspek estetika dan aktual.
Seperti sebagian sudah dikemukakan diatas bahwa eksistensi seni pertunjukan tradisi menuntut perhatian semua lapisan, melalui pembuatan arsip audiovisual dapat menjadi salah satu solusi bagi eksistensi kemurnian seni pertunjukan tradisi. Tulisan ini ingin mencari jawaban mengenai bagaimana menterjemahkan seni pertunjukan tradisi melalui bahasa film atau audiovisual ?. Untuk menterjemahkannya penulis berangkat dari dua sudut pandang yang berbeda, dengan pemikiran bahwa bisa memperoleh masukan yang cukup objektif, selain itu dua sudut pandang Antropologi dan Dokumenter mampu mewakili konteks kajian ini, sebagai perpektif yang memang memiliki persamaan sekaligus perbedaan dalam menggunakan media audiovisual berdasarkan teori masing-masing disiplin ilmu.
Mengapa penulis berangkat dari dua sudut pandang ini, karena masih terdapat perdebatan yang menarik dari perspektif kedua disiplin ilmu ini, yaitu, antropologi menganggap bahwa karya etnografinya lebih detil dalam merepresentasikan sebuah peristiwa khususnya yang berkaitan dengan pranata budaya dari masyarakat lokal, dibanding karya dokumenter. Disisi lain perbedaan dokumenter menggunakan tehnologi audiovisual berbeda dengan antropologi yang menggunakan media audiovisual untuk membantu saat melakukan pengumpulan data sekaligus sebagai dokumentasi riset lapangan (fieldwork). Bagi dokumenter tahap ini dianggap hanya proses mengumpulkan materi gambar (footage / raw material), karena setelah itu harus dilanjutkan pada tahap editing, dimana footage tersebut akan diseleksi dan diolah menjadi struktur penuturan sesuai dengan ide dan konsep estetika filmis.
Kontradiksi pendapat-pendapat yang berbeda ini perlu dijembatani dengan harapan dapat mencapai suatu pemahaman objektif untuk menentukan apakah memang perbedaan yang ada akan terus disemayamkan di dalam pemikiran konservatif, atau dicari suatu dogma baru yang mungkin dapat menjadi temuan inovatif untuk merancang proses kombinasi kedua bidang disiplin ilmu ini, hingga akhirnya mampu melahirkan suatu metode representasi yang ideal dan kongkrit.
Meski terasa seperti dipaksakan, tetapi perlu diakui bahwa belakangan ini meski sangat minim, tetapi televisi komersil Indonesia (tidak termasuk televisi publik TVRI yang memang sejak dulu aktif menayangkan acara seni pertunjukan tradisi), mulai memberi ruang-ruang jasa pada seni pertunjukan tradisi, seperti ketoprak, ludruk dan beberapa seni tradisi yang di format ulang untuk menjaga nilai rating sebagai dogma industri komersialnya. Tentu ini bukan tujuan serta manfaat yang positif bagi kelangsungan eksistensi seni pertunjukan tradisi.
Seni pertunjukan tradisi sebagai bagian dari kehidupan budaya masyarakat lokal, pada awalnya bukan objek tontonan yang bekonotasi hiburan. Ini merupakan sebuah ritual sakral yang tentunya memiliki makna spiritual yang dalam bagi bagi masyarakat lokal. Seni pertunjukan tradisi yang bermakana spiritual penuh dengan segala macam mitos, mulai dari asesoris (artefak) yang digunakan, gerak tubuh hingga musik yang mengiringi ritual tersebut. Khususnya mitos, karena merupakan wacana berkomunikasi dengan dunia metafisika sekaligus dunia nyata kehidupan masyarakat lokal yang percaya sepenuhnya akan mitos tersebut. Menurut Roland Bartes, mitos adalah suatu bentuk dari mode pertandaan. (Barthes, 1972: 295-306)
Analisa wacana menjadi wadah untuk membahas bagaimana setiap tafsir dalam merekam sebuah adegan atau peristiwa. Dimana interpretasi tersebut merupakan gambaran tentang bagaimana penentuan pembingkaian framing dari adegan atau peristiwa yang akan direkam gambarnya shooting. Karena framing adalah hasil dari keputusan mengenai pemilihan sudut pengambilan gambar (shot angle) pada setiap adegan. Dapat dipastikan bahwa pemilihan shot ditentukan oleh bagaimana kita mampu memahami setiap tanda dari gerak tubuh, vokal (dialog, nyanyian) dan ekspresi dari para pelaku upacara ritual (pawang, belian, dukun, tokoh adat) sebagai penggiat ritual upacara. Disini baik antropolog maupun sineas dokumenter sebagai penerima tanda yang disampaikan oleh penggiat ritual seni pertunjukan tradisi sebagai penanda. Inilah tantangan bagi dokumenter maupun film etnografi untuk memahami tanda tersebut, yang kemudian di tafsir berdasarkan landasan metodologi disiplin ilmu masing-masing.
Untuk memberikan contoh objek untuk melengkapi tulisan ini, penulis mengetengahkan sebuah karya dokumenter tentang seni pertunjukan tradisi dari suku Dayak Benuaq di Tenggarong, Kalimantan Timur. Dikenal dengan nama upacara atau ritual penyembuhan “Belian Sentiu”.
Bukan suatu yang berlebihan bila penulis menganggap seni pertunjukan tradisi dapat dilihat sebagai antena transmisi untuk mengomunikasikan dialog-dialog kultural, yang dilakukan secara berkesinambungan untuk membuka cakrawala baru pamahaman kita mengenai hakikat kemanusiaan. Khusus bagi Indonesia, seni pertunjukan tradisi serta bentuk seni pertunjukan lainnya dapat menjadi suatu catatan atau arsip sejarah budaya bangsa, sehingga bukan suatu yang berlebihan bila penulis menganggap bahwa alternatif untuk membuat arsip seni pertunjukan tradisi adalah melalui media audiovisual (film).
Baik dokumenter maupun antropologi memiliki salah satu kesamaan pada metode penelitiannya. Dikenal dengan sebutan metode penelitian lapangan (fieldwork) observasi partisipan, merupakan metode penelitian antropologis yang diperkenalkan Malinowski dalam teori empirisnya ketika melakukan penelitian selama tiga tahun pada etnis Trobriand di Papua Nuigini. Pada prinsipnya metode ini mengharuskan peneliti sebagai observator tinggal dalam waktu lama bersama subjek yang ditelitinya, semakin lama peneliti menetap bersama subjeknya maka hasil penelitiannya semakin sempurna menurut Malinowski.
Dalam riset lapangan (fieldwork) para antropolog umumnya menerapkan beberapa metode penelitian lapangan untuk melakukan pendekatan dan komunikasi dengan komunitas lokal yang menjadi subjek penelitiannya, agar mendapatkan sejumlah data akurat mengenai bagaimana karakter, pola hidup, sistim kekerabatan, pengorganisasian kehidupan sosial yang merupakan gambaran pranata budaya mereka. Proses pencatatan, perekaman dan interpretasi terhadap kehidupan dari masyarakat yang diteliti disebut etnografi (Keesing, 1981: 5-6)
Pada prinsipnya Antropologi menggunakan media audiovisual sebagai alat untuk mencatat data atau dapat dikatakan pula sebagai dokumentasi hasil penelitian lapangan fieldwork. Disisi lain bagi sineas dokumenter ini merupakan pengumpulan materi gambar shot. Dengan kata lain bagi seorang antropolog, perekaman materi shot (raw material/footage) sebagai dokumentasi visual dapat dianggap rampung sebagai data yang dikumpulkan, sedangkan bagi dokumenter itu adalah proses awal dari produksi film dokumenter. Apabila antropologi ingin menjadikan materi shot tersebut sebagai film etnografi maka perlu disusun kembali sesuai kerangka teori dan tujuan penelitian yang sudah dikonsepkan (Collier,1992:151-152).
Karya dokumenter “Belian Sentiu” pada prinsipnya menggunakan metode kombinasi antara pendekatam etnografi, ketika melakukan dokumentasi atau pendataan, kerja ini dilakukan oleh para etnomusikolog, sehingga hampir tak berbeda pendekatannya dengan antropologi visual. Ketika melakukan pendataan di lapangan mengenai seni pertunjukan, menggunakan kamera video untuk merekam semua peristiwa atau adegan orisinil dari seni pertunjukan ‘Belian Sentiu’. Kerja antropologi sudah selesai dengan menghasilkan footage berdurasi 8 jam. Kemudian agar seni pertunjukan ini dapat ditonton sekaligus dipahami oleh khalayak umum, maka perlu dilakukan penyuntingan. Pada hakikatnya sudut pandang antropologi dalam merekam peristiwa berdasarkan pandangan kasat mata. Sudut pandang kasat mata sama seperti melihat sebuah pagelaran seni pertunjukan baik dilokasi maupun di atas panggung. Tentunya tak ada yang salah dalam hal ini, karena semua itu seperti diatas sudah diterangkan, berangkat dari motivasi, tujuan tentang apa yang dilihat, dipahami dan direkam. Apabila sudut pandang filmis maka akan menggunakan tipe shot yang variatif, karena ini berkaitan dengan kebutuhan proses editing nanti sebagai tahap paska produksi.
Apabila tujuan dari perekaman gambar peristiwa ini untuk edukasi tentu ini ideal meski beberapa tipe seperti close up perlu juga untuk menerangkan detil ekspresi serta artefak yang ada. Dokumenter tentu dengan konsep estetikanya akan lebih aktif dalam mencari komposisi menarik dengan menggunakan gerak kamera yang dinamis dan variasi tipe shot yang memukau.
Konsep bertutur dalam dokumenter pasti akan melihat melalui mata kamera, yang memiliki batasan rasio layar atau frame, sehingga penentuan sudut pengambilan (shot angle) akan ditentukan baik sejak awal membangun ide dan mengembangkannya dalam konsep, maupun diputuskan secara spontan. Apabila menggunakan pendekatan atau gaya observasional maka spontanitas menentukan tipe shot sangat bermanfaat. Penentuan shot angle akan diputuskan secara cepat dilapangan on the spot, hal ini karena sineas dokumenter memosisikan diri sebagai seorang observator.
Dalam konteks pembingkaian framing maka lebih jelas dapat dianalisa perbedaan perspektif antara antropologi dan dokumenter, yang seperti sudah dikatakan tergantung pada motivasi dan tujuan produksi itu. Dokumenter ‘Belian Sentiu’ dikemas dalam gaya observasional, dimana tidak menggunakan narasi sebagai informasi verbal. Apabila menggunakan narasi maka informasi disampaikan oleh pihak ketiga sehingga, akan muncul pertanyaan normatif mengenai kebenaran dan keabsahan dari penuturan tersebut. Ini tidak umm dilakukan terutama pada program televisi mengenai edukasi dan informasi dalam bentuk dokumenter maupun film etnografi. Gaya observasional mampu memperkuat orisinalitas dari representasi peristiwa kepada perasaan khalayak penonton. Karena para subjek yang akan menuturkan sendiri pemahaman serta pengalaman hidup mereka, bukan pihak kedua (pewawancara) maupun pihak ketiga (narator/komentator/presenter).
Nama Robert Flaherty adalah tokoh yang mengawali pembuatan film tentang sebuah kehidupan etnik di Eskimo, film yang dibuatnya tahun 1922 itu berjudul “Nanook of The North” (Heider,1976:20-21). Flaherty yang awalnya sebagai peneliti sumber tambang, tak tau apa bentuk karya filmnya itu, sebagian menganggapnya sebagai master-piece dokumenter pertama. Dipihak lain sebagian mengklaim sebagai karya film etnografi yang brilian, tetapi adapula yang kontra dengan mengatakan bahwa film tersebut tidak layak untuk dikategorikan sebagai film etnografi, padahal sebagai seorang sineas Flaherty sangat lama melakukan observasi partisipan dengan Nanook dari suku Inuit sebagai subjeknya, sehingga jadwal produksinya pun cukup lama untuk ukuran jadwal kerja sekarang. “Nanook of The North” itu karya yang dibuat setelah Flaherty melakukan syuting ulang dilokasi yang sama, karena negatif filf footage awal yang telah diproduksi sebanyak 30,000 feet itu hangus terbakar semua akibat kejatuhan puntung rokoknya sendiri (Sherman,1998:7) Akan tetapi para antropolog menyatakan bahwa film Flaherty “Nanook of The North” belum layak untuk disebut sebagai film etnografi. Lalu apa bagaimana sebenarnya bentuk isi sebuah film etnografi ?.
Heider dalam bukunya mengatakan, untuk menilai sebuah karya film itu sebagai karya etnografi atau tidak, kita harus berpijak pada sudut pandang etnografi. Bagi film etnografi, teknologi audiovisual (kamera film, video, foto) hanyalah sebagai alat semata, sedangkan etnografi tetap menjadi tujuan utama. (Heider,1976:4). Kriteria Heider pun tidak terlalu jelas karena antropolog yang awalnya menggunakan media cetak untuk karya etnografi, ketika menggunakan teknologi sinematografi/fotografi, tentu ada tuntutan untuk menggunakan bahasa visual yang berbeda dengan bahasa tekstual.
Bertutur dalam film memerlukan sudut pandang (point of view) apapun ceritanya, fiksi atau non-fiksi. Flaherty menggunakan Nanook sebagai point of view untuk menceritakan kehidupan sosial suku Inuit yang bermukim di daerah Eskimo, yag semuanya itu menjadi konsep subjektif Flaherty yang ingin menggambarkan bagaimana manusia hidup dengan kondisi lingkungan alamnya. Akan tetapi bukan hal aneh apabila footage untuk dokumentasi visual dari antropologi tidak memerlukan point of view, karena ada kemungkinan tidak memerlukan benang merah penuturan. Apabila antropolog menggunakan media film untuk mendokumentasikan laporan data riset lapangan, tentu yang diperlukan adalah bagaimana kejelasan sistim pranata budaya masyarakat yang ditelitinya itu berfungsi, dalam bingkai fokus penelitiannya.
Robert Gardner yang mengikuti gaya Robert Flaherty, banyak membuat film etnografi kehidupan berbagai suku bangsa. “The Hunters” dan “Dead Birds” merupakan karya Gardner yang sangat populer dibanding karyanya yang lain. “Dead Birds” menuturkan kehidupan suku Dani di Papua, sedangkan “The Hunters” menuturkan kehidupan suku Kung Bushman di Afrika. Film Gardner oleh sebagian besar antropolog dianggap sebagai film etnografi yang cukup memadai. Dalam membuat filmnya Gardner melakukan kolaborasi dengan antropolog, seperti ketika membuat ‘Dead Birds’, Gardner bekerjasama dengan antropolog Belanda, Jan Broekhuijse yang telah lama melakukan penelitian pada suku Dani di Papua.
Kesimpulan
Metode kerja Robert Gardner dengan Jan Broekhuijse sangatlah ideal menurut pandangan penulis. Demikian pula seperti Jean Rouch yang bekerja sama dengan sosiolog Edgar Morin dalam memproduksi film “Chronicle of a Summer” 1961. Dengan demikian permasalahan perbedaan pijakan disiplin ilmu maupun tujuan serta sudut pandang akan terjembatani dengan sebuah kerja kolaborasi dengan tujuan mempresentasikan kemurnian sebuah seni pertunjukan tradisi. Sherman dalam bukunya mengemukakan istilah ‘Ethnodocumentary’, untuk menunjukan sebuah karya kolaborasi antara sineas dokumenter dengan antropolog ataupun rekanan dari disiplin ilmu lainnya (Sherman,1998:31). Belian Sentiu dapat pula dikatakan sebagai contoh kerjasama produksi, antara sineas dokumenter dengan etnomusikolog. Formulasi baru dalam usaha membuat arsip visual mengenai eksistensi seni pertunjukan tradisi di Tanah Air akan tercipta dengan memuaskan dan ideal, tanpa mengurangi aspek tradisi kemurnian seni pertunjukan tradisi yang penuh dengan makna spiritual dan estetika lokal. Dengan demikian ‘Etnodokumenter’ tidak sekedar istilah akan tetapi merupakan suatu formula untuk mengabadikan serta merepresentasikan sebuah keindahan seni pertunjukan yang merupakan bagian dari pranata budaya lokal.
Daftar Pustaka
Barthes, Roland (1972): “Mythologies” diterjemahkan “Membedah Mitos-mitos budaya Massa” oleh penerbit
Jalasutra, Yogyakarta 2007.
Collier, John.Jr & Collier, Malcolm (1992) :
“Visual Anthropology; Photography as a Research Method”. University of New Mexico Press, Albuquerque.
Djelantik, A.A.M (2003): “Seni Pertunjukan, Ritual, dan Politik” dalam ‘Mencermati Seni Pertunjukan I;
Perspektif Kebudayaan, Ritual, Hukum’. Diterbitkan ISI Surakarta 2003.
Ellis, Jack.C & McLane, Betsy A (2006):
“A New History of Documentary Film” Continuum, New York, London
Heider, G.Karl (1976): “Ethnographic Film” University ofTexas Press, Austin.
Keesing, M.Roger (1981): “Cultural Anthropology; A Contemporary Perspective” (2ed). Holt, Rinehart & Winston. New York.
Peursen, van C.A (1985): “Strategi Budaya” (strategie van de cultuur)
terjemahan . Penerbit Kanisus, Yogyakarta.
Piliang, Yasraf Amir (2005): “Penguatan Seni Pertunjukan Tradisidalam Era
Merkantilisme Budaya” dalam ‘Seni Pertunjukan
Indonesia: Menimbang Pendekatan Emik
Nusantara’. Diterbitkan ISI Surakarta, 2005
Probonegoro, Ninuk Kleden (2005):
“Diakronik dalam Penelitian Seni
Pertunjukan” dalam ‘Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang Pendekatan Emik Nusantara’. Diterbitkan oleh ISI Surakarta