Penempatan gambar visual yang tepat sesuai kronologi penuturan sebuah peristiwa, adalah tuntutan utama. Dalam sebuah wawancara, jangan menampilkan gambar visual (insert) yang kurang mendukung isi wawancara/ komentar/narasi.
Sebuah gambar memiliki informasi tersendiri,
sedangkan suatu rangkaian gambar mengisahkan ceritanya sendiri.
Pada prinsipnya penulis akan merasa lebih mudah menempatkan komentar atau narasi, setelah sekwens demi sekwens (sequence) dari visual sudah tersusun. Karena sekwens baru ada setelah susunan gambar visual sebagai 'picture story' mampu bertutur.
Perbedaan cerita fiksi dengan dokumenter adalah, dokumenter lebih mengutamakan kekuatan gambar visual, sedangkan cerita fiksi kekuatannya terletak pada penggabungkan atau kombinasi antara dialog dengan gambar visual. Hal yang perlu diperhatikan pada dokumenter yaitu, jangan terlalu banyak menjejalkan narasi, karena akibatnya akan membosankan penonton. Akibat lain ialah, arus gambar visual menjadi tersendat-sendat dalam bertutur, bahkan bisa fatal apabila tanpa disadari, info dari narasi justru mengganggu gambar. Padahal narasi hanya berfungsi sebagai pendukung gambar visual.
Dipihak lain ada pula sutradara atau penulis ingin bertutur sepenuhnya melalui gambar visual, sehingga tidak memperhatikan isi teks/narasi, akibatnya antara narasi dengan gambar menimbulkan kebingungan pada penonton. Keseimbangan relasi antara gambar dengan teks sangatlah diperlukan, dan pemilihan gambar harus selaras dengan teksnya, sehingga apa yang dipaparkan mampu membuat penonton terpukau.
Dokumentaris di tuntut agar mengetahui dengan tepat, pada bagian mana dia menempatkan supremasi visual dan tekst. Kemampuan kreativitas dokumentaris dituntut untuk dapat menyusun sinergi antara gambar, narasi, musik/atmosfir, secara tepat dan menarik pada alur penuturan. Sehingga kesemuanya mampu menjadi suatu ilustrasi yang memukau dan tidak menjemukan. Perlu di ingat dan perhatikan bahwa dokumenter adalah mediator bagi penonton yang ingin memenuhi rasa ingin tahunya.